RSS

Arsip Bulanan: Oktober 2006

Penyatuan Idul Fitri

Pentingnya Peran Pemerintah
Menyatukan Ummat Beridul Fitri

(Dimuat Pikiran Rakyat 21 Oktober 2006, berjudul "Penyatuan Idul Fitri")

Dr. T. Djamaluddin
Peneliti Utama
Astronomi-Astrofisika, LAPAN Bandung

 

            Kekhawatiran
masyarakat akan terjadinya perbedaan Idul Fitri mulai terasa. Dalam diskusi di
milis internet, saat sosialisasi, atau pertanyaan via e-mail dan lisan
menyiratkan kerisauan ummat bila terjadi perbedaan idul fitri. Bermacam alasan,
utamanya kekhawatiran masuk pada perbuatan haram bila puasa pada saat orang
lain beridul fitri atau berbuka saat idul fitri pada saat orang lain masih
puasa. Tetapi terkesan ada sedikit keraguan masyarakat untuk menunggu keputusan
pemerintah pada malam Senin 22 Oktober 2006 karena kekhawatiran dan prasangka
terjadinya rekayasa. Sementara masyarakat yang bukan anggota ormas tertentu
juga terkesan kecewa dengan keputusan ormas-ormas Islam yang berbeda-beda.

            Saya
ingin menjernihkan masalah ini, termasuk keinginan sebagian kalangan untuk
menghapus peran pemerintah dalam penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul
Adha. Misalnya, Ketua Umum PP Muhammadiyah meminta agar pemerintah tidak perlu
ikut menentukan Idul Fitri, tetapi hanya menetapkan hari libur (Republika,
19/10-06). Alasannya, kalau pemerintah ikut menentukan, kesannya ada yang
dipegang dan ada yang dikesampingkan. Tetapi kehendak untuk menghapus peran
pemerintah juga menimbulkan ada kesan ada ormas yang ingin membiarkan
masyarakat sendiri yang mengatasi perbedaan. Padahal masyarakat umumnya risau
dengan adanya perbedaan, sehingga meminta pemimpin ummat untuk
menyelesaikannya.

 

Sumber Perbedaan

Ijtima’ awal Syawal 1427
pada 22 Oktober 2006  pukul 12:14  WIB. Pada saat maghrib  22 Oktober 2006  bulan telah wujud di sebagian wilayah Indonesia, tetapi tingginya
kurang dari 2 derajat dan umurnya kurang dari 8 jam.  Menurut kriteria ijtima’ qablal ghturub dan wujudul hilal
menggunakan prinsip "wilayatul hukmi", 1 Syawal 1427 jatuh pada 23
Oktober 2006. Namun, kriteria imkan rukyat LAPAN dan MABIMS menyimpulkan 1 
Syawal 1427 jatuh pada 24 Oktober 2006. Sesuai fatwa Majelis Ulama
Indonesia, bila terjadi perbedaan, ikuti keputusan Pemerintah yang telah
mempertimbangkan berbagai pendapat .

            Ternjadinya
perbedaan Idul Fitri sudah jelas dengan keluarnya pengumuman PP Muhammadiyah
bahwa Idul Fitri pada 23 Oktober 2006 dan pengumuman PP PERSIS bahwa Idul Fitri
pada 24 Oktober 2006. Kedua ormas Islam ini mendasarkan keputusannya pada hasil
hisab (perhitungan astronomi). Namun yang perlu disadari bersama, keputusan
Muhammadiyah menentukan Idul Fitri jatuh pada 23 Oktober bukan semata-mata
hasil hisab. PP Persatuan Islam (PERSIS) juga mendasarkan pada hisab, tetapi
memutuskan idul fitri jatuh pada 24 Oktober. Hasil hitungannya sama, hanya
karena kriteria yang berbeda kesimpulannya berbeda.

            Di
kalangan Nahdhatul Ulama (NU) yang mendasarkan pada rukyatul hilal (pengamatan
hilal, bulan sabit pertama) juga mulai tampak potensi perbedaan. Tetapi ini
justru bersumber dari perbedaan hasil hisab mereka. PW NU Jawa Timur menyatakan
hasil hisab mereka dengan sistem Ittifaq Dzatil Bainy menyatakan
ketinggian hilal 2 derajat lebih. Sistem hisab tersebut tampaknya tergolong
sistem hisab taqribi (pendekatan, aproksimasi). Hasil hisab kalangan NU yang
menggunakan sistem hisab haqiqi (posisi sesungguhnya) justri menghasilkan hasil
hisab yang mirip dengan hasil ahli hisab Muhamamdiyah dan PERSIS, bahwa bulan
ketinggiannya pada saat maghrib 22 Oktober 2006 masih kurang dari 1 derajat
sehingga tidak mungkin dapat dirukyat. Perbedaan hasil hisab ini tampaknya akan
berpengaruh pada hasil rukyat, ada yang menerima kesaksian rukyat dan mungkin
ada yang menolaknya.

            Kondisi
ini mirip denga kondisi saat penentuan Idul Fitri 1418/1998. Saat itu pada
sidang itsbat kalangan ahli hisab terpecah dua dan kalangan ahli rukyat juga
terpecah dua. PP Muhammadiyah waktu itu memutuskan Idul Fitri jatuh pada 29
Januari 1998 berdasarkan kriteria wujudul hilal. Sedangkan PERSIS memutuskan
Idul Fitri jatuh pada 30 Januari 1998 berdasarkan kriteria ketinggian hilal 2
derajat. Sementara itu di kalangan ahli rukyat PB NU menolak kesaksian rukyat
di Cakung dan Bawean karena ketinggian hilal kurang dari 1 derajat sehingga
mendukung keputusan pemerintah beridul fitri 30 Januari 1998. Tetapi PW NU Jawa
Timur dan Jawa Tengah menerima kesaksian di Cakung dan Bawean tersebut sehingga
mereka beridul fitri 29 Januari 1998.

             Kondisi seperti itu akan berulang lagi tahun
depan (2007) kalau tidak ada perubahan kritria masing-masing ormas Islam.
Padahal ummat menghendaki adanya keseragaman. Mestinya kriteria itu bisa
dikajiulang, masing-masing ormas maju selangkah menuju titik temu untuk
mendapatkan kriteria yang seragam. Sebenarnya ini bagian teknis astronomis,
tidak lagi direpotkan dengan perdebatan dalil syariah. Kalau kriterianya bisa
sama, bukan hanya Muhammadiyah dan Persis yang sama-sama ahli hisab, tetapi
juga dengan NU yang ahli rukyat, keputusan Idul Fitri bisa seragam.

Upaya menuju
titik temu tersebut telah ada, hanya perlu tindak lanjut. Alhamdulillah, dalam
musyawarah para ahli hisab rukyat dari berbagai ormas Islam dan instansi
terkait pada Desember 2005 lalu telah ada langkah maju menuju titik temu
kriteria. Langkah maju yang telah tercapai adalah dirumuskannya tiga opsi
kriteria yang perlu dikaji oleh semua pihak. Bila tercapai kriteria bersama
yang disepakati, kriteria tersebut akan mengakhiri dikhotomi hisab dan rukyat
dan insya Allah menghilangkan perbedaan penentuan Idul Fitri. Kriteria hisab
rukyat tersebut harus dianggap sebagai kriteria dinamis yang terbuka untuk
dikaji ulang secara berkala berdasarkan data-data rukyatul hilal terbaru.

Opsi pertama
adalah tawaran kriteria hasil penelitian di LAPAN (kadang disebut sebagai
kriteria LAPAN). Kriteria hisab rukyat ini didasarkan pada hasil analisis
ilmiah astronomis atas data rukyat Indonesia 
yang mendekati kriteria astronomi internasional, yaitu umur hilal
minimum 8 jam dan tinggi bulan minimum tergantung beda azimut bulan – matahari
di suatu wilayah Indonesia. Bila beda azimutnya nol (bulan tepat berada di atas
matahari saat terbenam), maka tinggi bulan minimum 8,3 derajat. Sedangkan bila
beda azimut bulan matahari 6 derajat, tinggi bulan minimumnya 2,3 derajat.
Kriteria ini masih terlalu rendah dibandingkan dengan kriteria astronomi
internasional, tetapi mempunyai landasan ilmiah dan dapat diterapkan dengan
sistem hisab lama.

            Opsi
kedua adalah kriteria hisab rukyat yang didasarkan pada analisis empirik
kemungkinan terkecil terjadinya perbedaan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul
Adha, bila dibandingkan dengan kriteria yang berlaku saat ini. Kriteria awal
bulan adalah posisi bulan telah berada di atas ufuk pada saat maghrib di
seluruh Indonesia. Kriteria ini paling sederhana sehingga sistem hisab lama pun
bisa menerapkannya, tetapi tidak mempunyai landasan astronomis yang kuat dan
sulit dikembangkan untuk tingkat regional dalam forum MABIMS.

            Opsi
ketiga adalah kriteria hisab rukyat yang didasarkan pada fraksi luas sabit
bulan yang bisa diamati, F(%) = luas sabit/luas bundaran bulan x 100%. Kriteria
ini merupakan salah satu kriteria astronomis yang memungkinkan terlihatnya
hilal. Kriteria awal bulan bila fraksi luas sabit bulan lebih dari 1%. Kriteria
ini mempunyai landasan astronomis yang kuat, tetapi rumit dilakukan dengan
sistem hisab lama, sehingga banyak ahli hisab yang mungkin tidak bisa
menerapkannya.

            Ketiga
opsi tersebut semestinya dikaji di masing-masing ormas Islam, mana yang dapat
diusulkan untuk menjadi kriteria bersama yang disepakati untuk menggantikan
kriteria ormas yang berbeda-beda. Pilihan masing-masing sebaiknya tidak
tunggal, tetapi ada alternatif lain di antara ketiga opsi tersebut untuk lebih
memudahkan menuju titik temu. Pilihan tersebut akan dibawa dalam pertemuan
nasional yang lebih besar untuk mencari kriteria bersama yang disepakati
sebagai kriteria hisab rukyat Indonesia. Insya Allah, dengan kriteria hisab
rukyat Indonesia yang disepakati, semua kalender Islam, termasuk taqwim standar
dan kalender yang diterbitkan masing-masing ormas Islam, dapat seragam.
Alangkah baiknya bila kemudian Kriteria Hisab Rukyat Indonesia tersebut dapat
segera diimplementasikan sehingga Idul Fitri 1428/2007 tahun depan (dengan
kondisi bulan matahari yang mirip tahun ini) tidak terjadi lagi perbedaan.

           

Peran Pemerintah

Kesan adanya
keraguan masyarakt pada Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Agama dalam
penetapan awal ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha dimungkinkan karena tidak
diketahuinya mekanisme pengambilan keputusan tersebut. Mungkin masyarakat tidak
memperhatikan bahwa sesungguhnya keputusan Meteri Agama diambil melalui
mekanisme sidang itsbat (penetapan) yang dihadiri anggota Badan Hisab Rukyat,
perwakilan MUI, perwakilan ormas-ormas Islam, para pakar instansi terkait, dan
perwakilan negara-negara Islam. Semua pendapat ditampung, baik dari kalangan
ahli hisab dengan berbagai sistem maupun dari kalangan ahli rukyat. Kemudian
Menteri Agama mengambil keputusan yang paling optimal dengan persetujuan
peserta sidang. Apakah peran Pemerintah seperti itu perlu dihapuskan?

Kalau kita
menengok penetapan Awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha secara
internasional, tidak ada yang ditetapkan secara perorangan. Pasti ada otoritas
yang menetapkan. Di negara yang mayoritas penduduknya Muslim, penetapannya  dilakukan oleh otoritas negara, mungkin
Menteri Agama, mufti, Dewan Mahkamah Tinggi, atau raja. Hanya di negara-negara
yang Muslimnya minoritas, otoritas penetapannya diserahkan kepada organisasi
masyarakat Islam setempat. Di Indonesia otoritas negara ada, yaitu Menteri
Agama dan perangkat sidang itsbat, tetapi peran organisasi massa Islam juga
dominan. Seandainya peran pemerintah dihilangkan, kemanakah rujukan sebagian
besar ummat yang tidak ikut ormas tertentu?

Dengan
menghilangkan peran pemerintah dalam penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan
Idul Adha berarti ingin menjadikan ormas sebagai otoritas penentu. Hal itu
tidak menguntungkan karena itu berarti memaksa ummat yang bukan anggota ormas
mana pun untuk mengikuti keputusan ormas tertentu yang belum tentu
menentramkan. Potensi konflik pun lebih terbuka, karena kecenderungan
ormas-ormas mencari pendukung pendapatnya juga cukup kuat. Setidaknya akan ada
perebutan jamaah shalat ied untuk mengikut kelompoknya, baik dilakukan secara
halus melalui tabilgh atau ceramah atau secara terbuka dengan mengajak dari
rumah ke rumah.

            Saya
cenderung mendukung fatwa MUI nomor 2/2004 yang menyatakan bahwa (1) penetapan
awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijah dilakukan berdasarkan metode ru’yah dan
hisab oleh Pernerintah RI cq Menteri Agarna dan berlaku secara nasional, (2)
seluruh umat Islam di Indonesia wajib menaati ketetapan Pernerintah RI tentang
penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijah, (3) dalam menetapkan awal
Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijah, Menteri Agama wajib berkonsultasi dengan
Majelis Ulama Indonesia, ormas-ormas Islam, dan Instansi terkait. Fatwa itu
lebih menentramkan daripada ummat diberikan kebebasan memilih di antara sekian
keputusan ormas yang mungkin 
berbeda-beda.

            Pada
fatwa itu juga ada rekomendasi agar Majelis Ularna Indonesia mengusahakan
adanya kriteria penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijah untuk dijadikan
pedoman oleh Menteri Agama dengan membahasnya bersama ormasormas Islam dan para
ahli terkait. Kalau rekomendasi itu terlaksana dengan menindaklanjuti rumusan
opsi-opsi kriteria hisab rukyat, insya Allah potensi perbedaan Idul Fitri tahun
depan tidak akan ada lagi. Baik ormas Islam maupun pemerintah akan menggunakan
kriteria yang sama, sehingga keputusannya akan seragam. Bagaimana pun
keseragaman lebih menentramkan, walau pun perbedaan membawa rahmat.

 

 
2 Komentar

Ditulis oleh pada Oktober 22, 2006 inci Hisab-Rukyat

 

Astronomi Jalan Hidup

ASTRONOMI: Cita-cita, Kecintaan, dan
Pengembangan Karir Peneliti

T. Djamaluddin
Peneliti Astronomi
dan Sains Antariksa, LAPAN Bandung

Saya
belajar astronomi hanya bermodalkan tekad mewujudkan cita-cita. Pada masa
mahasiswa, minimnya dukungan ekonomi orang tua tidak menjadi alasan hambatan
dalam studi, walau kadang mengganggu semangat. Dengan doa orang tua, Allah membukakan
jalan-Nya sehingga banyak pihak secara langsung atau tak langsung membantu
kelancaran studi saya. Bagaimana pun semangat kadang down juga. Semuanya
saya catatkan pada buku pribadi (dengan
tulisan sandi), dengan disertai tekad dan motto pembangkit semangat. Fenomena
astronomis terbitnya matahari, dijadikan motto pembangkit semangat ketika
muncul perasaan tertekan dan semangat jatuh. Astronomi telah menjadi bagian
rasa cinta dan jalan hidup.

CITA-CITA

Sewaktu kecil
saya bercita-cita menjadi tentara angkatan udara, padahal ayah saya seorang
tentara angkatan darat. Tetapi akhirnya beralih. Saya teringat ketika kelas I
SMP di SMPN 1 Cirebon, pada suatau pelajaran, Guru memerintahkan semua siswa
menuliskan cita-citanya. Dengan yakin saya tuliskan “jadi peneliti”. Sejak
kecil memang saya mempunyai keingintahuan yang besar dan berupaya mencari
jawabannya sendiri. Ketika naik pohon jambu, bukan hanya mencari buah yang
matang, tetapi saya juga memperhatikan bunganya sampai menjadi buah. Ketika
musim hujan, saya gemar mencari tanaman baru yang tumbuh dari biji-biji yang
dibuang sebarang, seperti mangga, rambutan, dan kedondong. Ketika menemukan
kunci gembok berkarat sehingga mudah dihancurkan untuk melihat isinya, saya
berlama-lama meneliti cara kerjanya.

Dua kali saya
mengikuti lomba karya ilmiah remaja waktu SMP dan SMA, walau gagal. Tetapi itu
memberikan pengalaman penelitian yang menarik dan memacu kreativitas. Pertama
tentang kromatografi kertas, menguraikan warna tinta menjadi warna dasarnya
pada kertas saring. Ketiadaan fasilitas gelas ukur yang dicontohkan di TV, saya
gantikan dengan wadah plastik dan semprong lampu minyak tanah. Lomba kedua saya
ajukan ide asli saya, mendeteksi (saya sebut waktu itu) bakteri atau cacing di
mata dengan lubang jarum pada kertas yang dirahkan ke sumber cahaya. Dengan
lubang jarung tersebut terlihat bentuk transparan seperti rantai manik-manik
betuknya mirip bakteri atau sejenid cacing. Saya gunakan teori optik dan
referensi biologi seadanya tentang bakteri dan cacing. Sampai sekarang saya
belum mendapatkan jawaban pertanyaan saya dulu tersebut.

Pada kelas III
SMP pada 1975/76 terbit majalah “Mekatronika” dan “Scientiae” yang dalam
beberapa edisinya membahas tentang tentang UFO (Unidentified Fly Objects)
dan antariksa. Ketika masuk SMAN 2 Cirebon, perpustakaannya cukup mendukung
keingintahuan saya. Buku Eric von Daniken tentang misteri makhluk luar angkasa
sangat kuat memancing rasa ingin tahu sehingga saya baca berulang kali.
Akhirnya saya tertarik untuk menulis artikel “UFO Bagaimana Menurut Agama”.
Untuk menulis artikel tersebut saya perlu banyak bahan bacaan tambahan tentang
antariksa. Alhamdulillah, banyak buku tersedia di perpustakaan walau semuanya
berbahasa Inggris. Rujukan utama tentang universe dan astronomy
saya dapatkan dari Encyclopedia Americana di perpustakaan SMAN 2
Cirebon. Hasil bacaan dituangkan dalam tulisan. Karena saya tidak punya mesin
tik, saya minta tolong teman untuk mengetiknya. Alhamdulillah, tulisan saya
dimuat majalah Scientiae. Mungkin tidak ada yang menduga tulisan itu hanya
hasil analisis siswa kelas I SMA. Selanjutnya gambar-gambar astronomi yang
menarik dan segala misteri yang terkait dengan makhluk antariksa menarik saya
untuk membaca lebih banyak tentang astronomi.

Ketika ada
tawaran Proyek Perintis II (masuk perguruan tinggi tanpa tes, termasuk ITB)
pada 1981, saya ikut mendaftar dan dalam surat
permohonan langsung saya tuliskan
keinginan saya masuk jurusan astronomi. Saya sudah memantapkan untuk menjadi
peneliti astronomi. Alhamdulillah, saya diterima di ITB. Tetapi menjelang
berangkat ke Bandung,
saya baca artikel di “Pikiran Rakyat”. Intinya, untuk hidup dan sekolah di Bandung tidaklah murah.
Diceritakan, minimal untuk biaya hidup mahasiswa perlu sekitar Rp 50.000,-
padahal uang pensiun ayah saya hanya Rp 81.000. Bagian akhir tulisan itu saya
kliping dan saya beri catatan pembangkt semangat.

Saya
jalani masa mahasiswa dengan segala keterbatasan. Alhamdulillah, nyatanya saya
dapat bertahan dengan biaya hidup Rp 15.000 per bulan untuk semuanya (makan
masak sendiri dengan menu sederhana asal bergizi, untuk fotokopi, dan lainnya).
ITB ternyata juga tidak menakutkan seperti dugaan semula. Setelah semester
pertama membayar SPP penuh, semester selanjutnya membayar SPP hanya 50%
kemudian bebas SPP. Pada tahun ketiga dan keempat saya mendapat beasiswa BPPA
(Beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik) Rp 25.000/bulan dan beasiswa Aji Dharma
Bakti (Yayasan Sosial Ajinomoto) Rp 30.000/bulan, jumlah yang tergolong besar
bagi saya sehingga bisa juga membantu biaya sekolah adik-adik.

Perasaan
gagal dan kecewa kadang muncul ketika hasil ujian tidak sesuai harapan. Kadang
semangat jatuh. Semuanya saya catatkan dalam buku catatan pribadi dan selalu
saya tutup dengan pembangkit semangat dan doa. Saya selalu berupaya
membangkitkan semangat dari dalam diri untuk terus maju. Saya membuat motto
diri dari fenonema astronomis matahari terbit: “Hidup ini adalah perjuangan
lahir batin dengan iman, ilmu, dan amal. Matahari telah terbit. Hari ini adalah
hari perjuangan dengan semangat baru. Majulah! Majulah! Majulah!” Saya juga
teringat pesan Imam Al-Ghazali, bahwa jadilah manusia seperti matahari, bersinar
karena kualitas pribadinya dan mampu menerangi sekitarnya. Jadi, tak ada jalan
lain untuk maju selain selalu berupaya meningkatkan kualitas pribadi.

Selain
kuliah, saya aktif di masjid Salman menjadi mentor. Menjadi pembina berarti
harus memberi contoh yang baik. Inilah yang membantu membangkitkan semangat
untuk terus bertahan dan mencapai yang terbaik. Bagaimana pun hasil bukan
ukuran utama, tetapi usaha keras itu yang harus dilakukan. Aktivitas di masjid
memang cukup menyita waktu, sehingga tidak mungkin mengambil kegiatan lain,
selain di Himastron. Kuliah dan membina di masjid dianggap sama
pentingnya. Kegiatan di masjid menjadi
bagian pembinaan diri bersosialisasi, untuk memahami masalah-masalah nyata di
masyarakat dan merumuskan kemungkinan solusinya dari sudut pandang agama.
Beberapa buku keislaman untuk pegangan mentoring berhasil saya susun.

Belajar
astronomi berarti juga belajar bagaimana menjelaskan sains yang rumit menjadi
menarik dan mudah difahami. Pak Winardi dalam kuliah astrofisika selalu
mendorong mahasiswanya untuk membaca juga buku-buku astronomi populer. Karena
dengan itu, konsep fisika – matematika lebih mudah difahami dengan ilustrasi
dan contoh fenomena di alam yang dibahas secara populer. Selain itu, dengan
seringnya membaca astronomi populer, mahasiswa juga mampu untuk menjelaskan
astronomi kepada masyarakat awam. Kemampuan untuk berbicara sains dengan bahasa
populer juga dilatihkan dengan penugasan menjadi penceramah di Observatorium
Bosscha, menuliskan artikel populer, dan menjawab pertanyaan awam tentang
astronomi. Tulisan populer saya yang pertama yang ditugaskan Pak Bambang
tentang gerhana matahari total 11 Juni 1983 dimuat di Pikiran Rakyat menjelang
Ramadhan 1403 H.

Astronomi
bola yang diajarkan Pak Moedji mengantarkan saya untuk memahami masalah hisab
rukyat (perhitungan dan pengamatan) penentuan awal bulan hijriyyah. Masalah
hisab rukyat, bukan hanya menuntut penguasaan masalah astronomisnya, tetapi
juga masalah syariat yang terkait dengannya. Hal yang lebih pelik dan sulit
diselesaikan (namun kita berharap bisa diatasi) adalah masalah tradisi
organisasi massa
Islam. Masalah hisab rukyat tidak diajarkan secara formal di jurusan astronomi,
tetapi harus digali sendiri. Untuk menambah wawasan tentang hisab rukyat,
beberapa kali saya berdiskusi dengan pengajar hisab rukyat di Fakultas Syariah
UNISBA untuk memahami masalah syariatnya. Pengalaman ini sangat berguna untuk
terlibat secara langsung pada upaya penyelesaian masalah perbedaan hari raya,
terutama dengan tulisan-tulisan di media massa.

Ada satu kesalahan fatal
yang hampir menghancurkan cita-cita saya. Malam Sabtu, 31 Agustus/1 September
1984 saya mengalami kekacauan konsentrasi dalam bekerja di teropong Schmidt
karena kondisi fisik mengantuk dan lapar. Mula-mula timer di kamar gelap secara
tak sengat jatuh. Dan yang paling fatal adalah memecahkan filter G11 dalam
kondisi hilang konsentrasi saat pengamatan dini hari. Filter kaca tanpa sadar
disatukan dengan plat film saat pemasangan pada plate holder yang permukaannya
cembung. Ketika terdengar bunyi kaca remuk baru sadar ada kesalahan fatal.
Cita-cita saya akan hancur sampai di sini? Pak Bambang Hidayat tentu saja marah
dan melarang saya ikut pengamatan. Tetapi alhamdulillah, masalahnya akhirnya
dianggap selesai pada 23 November 1984, sepulang Pak Bambang dari Jepang.
Filter pengganti telah diperoleh dari Jepang. Dan pada Januari 1985 Pak Bambang
menjadi pembimbing tugas akhir untuk mengolah hasil pemotretan Pak Bambang di
Observatorium Kiso, Jepang, untuk menganalisis distribusi bintang OB di lengan galaksi ke arah rasi Puppis. Bukan hanya
bimbingan, tetapi juga honor penelitian saya peroleh dari dana riset Pak
Bambang. Honor itu sangat membantu saya.

Ada satu cita-cita untuk menjadi dosen, di
samping sebagai pengajar juga peneliti. Sayangnya formasi dosen tampaknya
sedang kosong pada waktu itu. Pengangkatn dosen terakhir pada waktu itu adalah
Pak Moedji, setelah itu tidak ada lagi. Tetapi Jurusan Astronomi tampaknya
mengupayakan penambahan staf dosen baru. Pada 20 Mei 1986 saya mendapat
informasi dari TU Observatorium Bosscha bahwa nama saya termasuk salah satu
yang diusulkan untuk menjadi calon staf dosen untuk matakuliah
astronomi-astrofisika II. Saya sangat gembira dan berdoa agar hal itu dapat
terwujud. Tampaknya surat
itu tidak ada tindak lanjutnya, mungkin memang formasi dosen astronomi kosong.
Sampai menjelang penyelesaian tugas akhir, saya tidak mendapat jawaban dari Pak
Bambang kemungkinan untuk jadi staf dosen.

Ketika pada 1
Agustus 1986 datang Mezak dan Mas Bambang Setiahadi menawarkan untuk bekerja di
LAPAN dengan janji akan disekolahkan ke luar negeri, saya masih ragu menerima
tawaran jadi peneliti atau menunggu jadi dosen. Akhirnya saya mantapkan jadi
peneliti setelah diajak menghadap Kepala LAPAN Bandung pada 5 Agustus 1986.
Keesokan harinya langsung diminta mengajukan lamaran kerja dan mengikuti
psikotes, saya dianggap sudah lulus. Akhir Agustus baru saya sampaikan kepada
Pak Bambang bahwa saya telah melamar ke LAPAN. Pak Bambang tampak kecewa dan
sempat menghentikan bimbingan penyelesaian akhir skripsi. Pak Winardi dan Pak
Paulus yang dimintai pendapat hanya menyatakan perlunya memperkuat kelompok
struktur galaksi, tetapi tidak memberi informasi kemungkinan pengangkatan
dosen, hanya dijanjikan akan dibahas dalam rapat Jurusan Astronomi pada 3
September. Saya tidak tahu hasil rapatnya, tetapi tampaknya masuknya saya ke
LAPAN kemudian tidak dipersoalkan lagi oleh Pak Bambang sehingga saya dapat
menyelesaikan tugas akhir dan ikut sidang sarjana pada 1 Oktober 1986. Seusai
sidang saya dapat informasi bahwa saya lulus dengan nilai A dan diusulkan untuk
Cum Laude, walau saya sadar nilai kumulatif saya belum mencukupi untuk Cum
Laude. Setelah wisuda pada 18 Oktober 1986, saya mulai masuk kerja di LAPAN 1
November 1986. Alhamdulillah, saya hanya jadi penganggur 2 pekan.

KECINTAAN

Di
LAPAN saya masuk pada kelompok penelitian antariksa, dengan fokus penelitian
matahari, lingkungan antariksa, dan astronomi. Penelitian struktur galaksi
tidak mungkin lagi dilakukan, tetapi prinsip-prinsip dasar astronomi sangat
mendukung kegiatan penelitian. Delapan belas bulan bekerja di LAPAN, saya
mendapat tugas belajar ke Jepang dengan beasiswa Monbusho. Solar physic
and galactic astronomy saya pelajari, tetapi akhirnya kembali pada galactic
astronomy
dengan fokus pada interstellar
matter
dan star forming ragions serta terlibat juga dalam penelitian
large scale galaxy distribution. Pengamatan malam di observatorium wajib
dilaksanakan. Ada
trauma untuk bekerja dengan teleskop, khawatir kesalahan fatal terjadi lagi.
Alhamdulillah, trauma dapat diatasi dan pengamatan bisa berjalan lancar di
observatorium terbesar di Jepang (Okayama Astrophysical Observatory) dan di
observatorium milik Kyoto
University (Ouda
Observatory) di Nara. Kadang seorang diri beberapa malam mengamat di
observatorium Ouda yang sangat sepi.

Pengamatan
malam dalam kesunyian memberikan kesan yang mendalam betapa menyenangkannya
jadi astronom. Di balik kerlip bintang yang bertaburan, terdapat banyak
informasi yang menantang untuk digali. Dari spektrumnya dapat dipelajari
informasi fisisnya. Dari pelemahan magnitudonya dapat dipalajari adanya materi
antarbintang. Dari warnanya (dalam definisi astronomis, perbedaan magnitudo
antara dua filter atau perbedaan flux density pada dua panjang gelombang) dan luminositasnya, dapat ditelusur
evolusinya. Teknologi CCD telah memberikan kemudahan dalam pengamatan, sehingga
data bisa direkam dalam komputer dan diolah dengan program pengolah citra
secara lebih cepat. Tracking dalam pengamatan lama cukup dilakukan dari layar
monitor. Penyelesaian program S3 dengan
topik evolusi protostar tidak dilakukan dengan pengamatan teleskop, tetapi
lebih banyak mengolah data dan menginterpretasikannya dari data pengamatan
satelit infra merah, IRAS. Mempelajari bagaimana bintang lahir dari awan
antarbintang membuka rahasia tersembunyi tentang alam semesta. Astronomi bukan
sekadar bagian dari studi dan penelitian, tetapi telah menjadi bagian dari rasa
cinta dan kesenangan.

Karena
kesenangan pada astronomi, sangat beralasan kalau itu diabadikan pada nama tiga
putra-putri saya disertai harapan dan doa akan makna dibalik namanya: Vega Isma
Zakiah, Gingga Ismu Muttaqin, dan Venus Hikaru Aisyah. Vega merupakan salah satu dari segi tiga musim panas. Di Jepang terlihatnya
Vega berkaitan dengan festival bintang (Tanabata
Matsuri
). Bintang Vega adalah bintang standar astronomi, paling baik diamati pada bulan
Juli. Vega Isma Zakiah lahir di Kyoto,
Jepang, 10 Juli 1992. Diharapkan akan secemerlang bintang Vega, rendah hati
menyadari kekecilan dirinya bagai debu materi antarbintang (InterStellar Matter,
Isma) yang senantiasa menjaga kesucian (Zakiah) lahir dan batin. Gingga dalam
bahasa Jepang berarti sungai perak atau galaksi Bimasakti, tempat ratusan
milyar bintang. Pada bulan Juli, Gingga tampak cemerlang di langit berdampingan
dengan Vega, terbentang di langit dari selatan ke utara. Gingga Ismu
Muttaqin lahir di Bandung,
7 Juli 1996. Diharapkan gagah cemerlang seperti galaksi Gingga, merendah
menyadari dirinya kecil di tengah keluasan ruang antarbintang (InterStellar
MediUm, Ismu), dan senantiasa menjaga ketaqwaan (Muttaqin). Venus, bintang
Kejora atau bintang timur adalah “bintang” (sesungguhnya planet) yang paling
terang. Tampak cemerlang di ufuk barat saat maghrib atau di ufuk timur saat
pagi. Shubuh Oktober 1999 Venus tampak cemerlang di langit timur. Venus Hikaru
Aisyah lahir di Bandung,
13 Oktober 1999. Diharapkan anggun cemerlang seperti Venus, bersinar (Hikaru,
dalam bahasa Jepang) meneladani Ummul Mu’minin Siti Aisyah.

Kegemaran pada astronomi sering saya padukan
dengan upaya peningkatan kualitas iman dan itu diwujudkan pada artikel-artikel
di koran dan majalah. Ada
tiga alasan saya menulis di koran. Pertama. Karena kegemaran membaca dan
menulis. Kedua, ada keinginan berbagi ilmu yang menyenangkan (astronomi) dan
menyebarkan gagasan dalam mencari solusi. Ketiga, ada keuntungan dari segi
angka kredit peneliti dan honor tulisan. Alhamdulillah, sampai saat ini sudah
saya publikasi 87 tulisan populer terkait dengan astronomi, termasuk astronomi
untuk masyarakat dalam mencari solusi perbedaan hari raya (Idul Fitri dan Idul
Adha). Sebagian diantaranya dimuat di situs web
http://media.isnet.org/isnet/Djamal
dan
dikumpulkan
dalam bentuk buku: “Menggagas Fiqih
Astronomi: Telaah Hisab Rukyat dan Pencarian Solusi Perbedaan Hari Raya”
(Penerbit Kaki Langit, Bandung, 2005) dan
“Menjelajah Keluasan Langit Menembus Kedalaman Al-Quran” (Penerbit Khazanah,
Grup Percikan Iman, Bandung,
2006). Ada juga buku kecil untuk anak-anak dan remaja tentang “Bertanya pada
Alam: 13 Worthy to Know Facts” (Penerbit Shofie Media, Grup Percikan Iman,
Bandung, 2006), berisi jawaban atas 13 pertanyaan fenomena sehari-hari,
seperti mengapa terjadi malam dan siang,
mengapa sepekan 7 hari, mengapa matahari di kaki langit tampak besar, dan
mengapa wajah bulan tidak berubah.

KARIR PENELITI

Kuliah
astronomi, dengan mahasiswa yang sedikit (terutama dulu) memang unik. Pola
mengajar bisa lebih bersifat personal, seperti pola bimbingan. Pernah terjadi
kuliah pilihan bintang ganda diikuti oleh satu mahasiswa (Pak Hakim Malasan),
tetapi dosennya dua (Pak Winardi dan Pak Bambang). Pak Djoni mengajar dengan
cara memberi tugas menterjemahkan buku Atmosfer Bintang kemudian
dipresentasikan. Sehingga mahasiswa sering mengatakan “akan memberikan kuliah”,
bukan “akan mengikuti kuliah”. Pak Bambang lebih banyak menunjukkan
makalah-makalah referensi, sehingga selepas kuliah mahasiswa sibuk mencarinya
di perpustakaan. Untungnya perpustakaan astronomi di Observatorium Bosscha
sangat lengkap dan penuh jurnal-jurnal terbaru. Pola pembelajaran di
Jurusan/Departemen/Program Studi Astronomi seperti itu menjadi bekal untuk
menjadi peneliti yang mandiri. Di LAPAN, peneliti alumni astronomi umumnya
sudah bisa langsung dilepas menjadi peneliti, tidak terlalu banyak harus
dibina, karena sudah terbiasa dengan budaya penelitian. Terbiasa mencari
referensi jurnal sebagai rujukan perkembangan sains terbaru (bukan sekadar buku
teks yang berisi informasi baku),
terbiasa presentasi ilmiah, dan terbiasa membuat makalah.

Saya telah
memilih profesi peneliti astronomi dan sains antariksa di LAPAN. Peneliti
adalah suatu jabatan fungsional yang memerlukan profesionalisme, bukan kerja
sambilan. Menjadi pegawai negeri peneliti adalah suatu pilihan di antara banyak
daya tarik luar lainnya. Sebagai pegawai negeri, ada jaminan kesejahteraan sampai hari tua, tetapi dalam batasan
minimal. Karena batasan minimal tersebut, ada daya tarik luar yang kadang
menggoda untuk mencari tambahan. Biasanya, daya tarik terkuat adalah mengajar,
baik mengajar pada bidangnya atau kadang mengajar bukan pada bidangnya asal ada
tambahan penghasilan. Pada awalnya saya masih sempat merangkap jadi peneliti
dan mengajar di luar. Ketika jam kerja sampai pukul 14.00, pulang kantor masih
bisa mengajar sampai malam. Mengajar hanya di luar jam kantor karena saya tidak
ingin terjerumus pada “korupsi terselubung” dengan korupsi waktu. Karenanya
ketika jam kerja berubah menjadi 5 hari kerja dan jam kerja sampai pukul 16.00
saya tidak mungkin lagi mengajar. Hari Sabtu bukan pilihan yang baik untuk
mengajar.

Godaan terberat
untuk berbagi peran sebagai peneliti pegawai negeri dan pengajar sambilan
terasa ketika saya baru tiba dari Jepang. Ada
perubahan drastis, dari biaya hidup yang bersumber dari dana beasiswa bulanan
dalam Yen yang lebih dari cukup menjadi gaji murni sebagai PNS tanpa tunjangan
fungsional (karena baru tiba) yang sangat minim. Dari penghasilan bulanan
setara Rp 4.000.000 (menurut kurs 1994) menjadi hanya sekitar Rp200.000. Ada
peneliti lulusan luar negeri yang tidak tahan dengan kondisi seperti itu dan
mengikuti daya tarik luar yang kuat dan menggiurkan, walau menutup mata (sadar
atau tak sadar) dengan perilaku korupsi terselubung (seolah hal yang lumrah). Ada yang masih bisa
mengendalikan diri hingga profesi penelitinya tetap terjaga, tetapi ada juga
yang terlalu jauh terlena dengan daya tarik luar. Kalau mau jujur dan tidak mau
terjebak korupsi terselubung, tidak mungkin menjadi peneliti yang produktif dan
berhasil pula sebagai pengajar yang baik (ini kasus yang berbeda untuk dosen
yang memang profesinya mengajar dan meneliti). Pasti salah satunya rusak atau
kedua-duanya rusak atau setidaknya bisa terlaksana “sekadarnya”. Saya pilih
jadi peneliti saja, walau pahit pada awalnya.

Karir peneliti
memang menjanjikan untuk perbaikan kesejahteraan, setidaknya lebih baik dari
batas minimal sebagai pegawai negeri. Dengan struktur tunjangan peneliti
seperti saat ini (pada tabel berikut ini), saya mencoba menghitung secara
ekonomi berapa nilai rupiah hasil karya peneliti.

Struktur Lama

Struktur baru

Assiten Peneliti Muda
(IIIa), 100 AK

Rp 130.000

PenelitiPertamaIIIa,100AK

PenelitiPertamaIIIb,150AK

Asisten Peneliti Madya(IIIb),150AK

Rp 253.000

Ajun Peneliti Muda (IIIc),
200AK

Rp 377.000

Peneliti Muda IIIc,200AK

Peneliti Muda IIId,300AK

Ajun Peneliti Madya
(IIId), 300AK

Rp 500.500

Peneliti Muda (IVa),400AK

Rp 624.000

Peneliti MadyaIVa,400AK

Peneliti MadyaIVb,550AK

Peneliti MadyaIVc,700AK

Peneliti Madya (IVb),
550AK

Rp 747.500

Ahli Peneliti Muda (IVc),
700AK

Rp 871.000

Ahli Peneliti Madya
(IVd),850AK

Rp 994.500

Peneliti Utama IVd,850AK

PenelitiUtamaIVe,1050AK

Ahli Peneliti Utama
(IVe),1000AK

Rp 1.118.000

Ambil salah satu contoh kasus.
Ajun peneliti untuk naik jenjang perlu 100 AK. Satu makalah hasil penelitian
oleh penulis tunggal (menurut sistem penilaian lama) bernilai 25, sehingga
untuk naik jenjang perlu 4 makalah yang harus terpenuhi selama 4 tahun. Artinya,
setiap tahun harus menghasilkan 1 makalah penelitian penulis tunggal. Namun
hasilnya akan ada tambahan tunjangan fungsional sebesar kira-kira Rp 120.000,00 per bulan. Sehingga
kalau dikonversikan nilainya selama satu tahun menjadi 12 x Rp 120.000,00 = Rp 1.440.000. Untuk
menghasilkan 1 makalah penelitian, biasanya seorang peneliti di LAPAN
melaksanakan program penelitian dengan diberikan honor bulanan (untuk saat ini)
sebesar Rp 10.625,00 per jam (setelah potong pajak 15%). Karena satu bulan maksimum
hanya diperkenankan 80 jam, maka honor total selama satu tahun untuk
menghasilkan satu makalah menjadi 12 x 80
x Rp 12.500,00 = Rp 10.200.000,00. Jadi satu makalah penelitian yang dihasilkan
seorang peneliti dinilai Rp 1.440.000 + Rp10.200.000,00 = Rp11.640.000,00, suatu jumlah yang tidak sedikit. Sebenarnya,
harus juga diperhitungkan dengan gaji dan tunjangan fungsionalnya, kira-kira Rp
1.500.000 per bulan, sehingga secara kumulatif total nilainya menjadi Rp
29.640.000,00. Pada saat banyak orang mencari pekerjaan, satu buah makalah
bernilai sebesar itu menunjukkan bahwa profesi pegawai negeri peneliti bukan
main-main.

Pilihan karir
jadi peneliti fulltime, ternyata juga memberikan kepuasan batin karena
sesuai cita-cita dan jenjang karir ditentukan oleh diri sendiri, bukan orang
lain. Menjadi peneliti, naik jabatan (termasuk tunjangan jabatannya) ditentukan
oleh kinerja pribadinya. Nilainya harus baik dalam penilaian pretasi kerjanya
sebagai pegawai negeri (dinyatakan dalam DP3, Daftar Penilaian Pekerjaan
Pegawai). Juga hasil kegiatan sebagai peneliti juga harus baik. Bila itu
terlaksana, tiap tahun naik jabatan dimungkinkan bila nilai angka kredit
penelitinya mencukupi untuk naik jenjang. Pangkatnya sebagai pegawai negeri
juga dimungkinkan untuk dinaikkan setiap 2 tahun (dengan kenaikan pangkat
pilihan), dua kali lebih cepat daripada kenaikan reguler setiap 4 tahun.
Pilihan saya ternyata jalan yang tepat. Sejak jabatan fungsional saya ajukan,
nilai angka kredit saya memungkinkan cepat naik jabatan dan tentunya dapat naik
pangkat setiap dua tahun. Ketika pulang dari tugas belajar, pangkat PNS telah
IIIb. Kemudian mengalami satu kali kenaikan pangkat reguler 4 tahunan menjadi
IIIc. Selanjutnya naik pangkat setiap 2 tahun menjadi IVc, berarti empat kali naik
pangkat pilihan. Dengan angka kredit peneliti saya 1.047, memungkinkan saya
untuk naik pangkat lagi menjadi IVd pada 2007 dan berharap mencapai puncak
karir peneliti pada 2009 sebagai Peneliti Utama IVe (sebagai profesor riset).
Hal ini saya ungkapkan bukan untuk menyombongkan diri (karena tidak ada yang
istimewa, setiap orang bisa melakukannya), tetapi semata-mata ingin menunjukkan
bahwa jenjang karir peneliti bisa direncanakan oleh diri sendiri, tidak
tergantung pada orang lain. Berbeda dari jejang karir struktural yang
tergantung juga pada pilihan atasan kita.

 
3 Komentar

Ditulis oleh pada Oktober 13, 2006 inci Aneka Catatan