RSS

Arsip Bulanan: September 2007

Mari Bersatu Berhariraya

Kesalahpahaman
Sekitar Hisab Rukyat

T. Djamaluddin, LAPAN Bandung

            Salah
satu penghambat menuju titik temu adalah masih adanya kesalahpahaman di tingkat
ormas, baik di tingkat pimpinan (selain pimpinan organ ormas yang menangani khusus
hisab rukyat) maupun di tingkat anggota akar rumput. Berikut catatan saya
menanggapi kesalahpahaman di situs http://www.muhammadiyah.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=609&Itemid=2&lang=en
Saya berharap ini menjelaskan masalah sesungguhnya. Kalau persepsi sudah kita samakan, insya Allah hasil
kajian teknis tentang upaya titik temu lebih mudah diterapkan.

 

Komentar simpatisan ormas:

  1. Jangan sampai penyamaan persepsi merubah pendirian
    Muhammadiyah selama ini dalam penentuan awal bulan qamariyah, yaitu jika
    bulan telah medahului matahari saat matahari terbenam,asal sudah terlihat
    sabit kecil. Patokan pada ilmu falak saja.

  2. Menurut saya, ini adalah masalah KEYAKINAN. jadi gak
    perlu satu pihak harus mengalah dan merubah keyakinannya hanya untuk
    memenuhi keinginan sebagian orang untuk ber hari raya pada waktu yang
    bersamaan. Bagi saya, kalau PP Muhammadiyah bersedia "mengikuti"
    PBNU, atau sebaliknya NU yang "mengikuti Muhammadiyah, sama saja artinya
    dengan mengingkari keyakinan kita sendiri, atau mengakui "sesalahan
    keyakinan" kita selama ini. Dan itu teramat susah buat saya.

  3. Dengan peradaban dunia yang semaikin tinggi,
    kemungkinan kecil perhitungan (hisab) meleset, bisa jadi perpecahan dan
    perbedaan ini dimanfaatkan oleh umat nonmuslim (kristian) untuk
    memrongrong keutuhan persaudaraan islam, Dilihat dari kutipan maklumat PP
    Muhammadiyah 1428 H, bengapa dasar alqur’an dan hadist ini tidak dipahami
    umat muslim pada umumnya. Tapi semua ini moga semua ini tidak mengurangi
    makna ibadah itu sendiri.

Tanggapan TD:

Sedikit pesan untuk teman-teman yang tampaknya
begitu teguh memegang keyakinan. Pliiisss dong fahami masalahnya.
Menyebut-nyebut "patokan pada ilmu falak saja" tidak cukup. Sekarang
ini semua palaku hisab rukyat sudah berpatokan pada ilmu hisab, ilmu falak/astronomi. Teman-teman Muhammadiyah, NU, Persis
juga banyak yang jago ilmu hisab. Hitungan NU, Muhammadiyah, Persis, dan
astronom sudah sama. Mengapa kesimpulannya beda? Karena kriterianya beda.
Muhammadiyah menggunakan kriteria wujudul hilal (sejujurnya, secara ilmu
falak/astronomi ini dipermasalahkan) + prinsip wilayatul hukmi. Ini yang
menyebabkan keputusannya Idul Fitri 12 Oktober. Kalau kriterianya diubah
(sesuai perkembangan ilmu falak/astronomi modern), keputusannya akan beda. Nah,
yang kini diupayakan adalah mencari kriteria yang disepakati bersama oleh
Muhammadiyah, NU, dan ormas-ormas lainnya dengan masukan dari pakar-pakar
astronomi. Jadi, sangat mungkin untuk dipersatukan kriterianya tanpa mengubah
keyakinan metode hisab atau rukyat. Pliiiis deh fahami masalahnya. Kita ingin
bersatu, mengapa dianggap sulit. Mudah kok, kalau mau…

 

Tanggapan simpatisan ormas:

Pak Thomas, memang kriteria ga’ boleh beda?
Sejujurnya juga, apakah kriteria imkanur-rukyat bebas dari masalah? Mnrt sy
justru lbh bermasalah. Bapak sbg ‘orang pintar’ justru jgn memancing dg
menunjuk kesalahan satu pihak. Baca berita dong, bgmn ustadz Hasyim Muzadi dan
ustadz Quraish Shihab berkomentar. Sangat menyejukkan. Sy setuju dibangun
kesepakatan. Tp, kesepakatan kan tdk hrs dipaksakan memilih satu kriteria yg
sama. Sepakat utk berbeda, mungkin saja terjadi. Persoalan ini jangan dibawa
kepada isu persatuan vs perpecahan. Itu provokator namanya.

Tanggapan TD:

Menjelang Ramadhan PP Muhammadiyah mengelar
simposium penyatuan kalender. Dalam konsepsi hisab rukyat, penyatuan kalender
bermakna penyatuan kriteria.Kriteria itu mancakup kriteria hisab dengan dasar rukyat. Kalau kriterianya beda, sampai kapanpun jangan
bermimpi soal penyatuan kalender. Tenang saja, di tingkat Majelis Tarjih
Muhammadiyah (biasanya diwakili Pak Oman Fathurohman), Lajnah Falakiyah NU (biasa diwakili
Kyai Ghazali Masruri), Dewan Hisab Persis (biasa diwakili Kyai Abdurrahman KS),
dan organ ormas sejenis di tiap ormas Islam hal ini sudah difahami. Kami sudah
biasa mendiskusikannya di Badan Hisab Rukyat Depag RI. Catatan saya untuk
penyadaran bagi semua warga ormas yang belum faham masalah sesungguhnya.
Pertemuan yang difasilitas Wapres Senin 24 September 2007 itu untuk memperkuat hasil diskusi di tingkat BHR
tersebut yang selama ini terbentur hanya sampai tingkat teknis. Sekarang
tingkat pimpinan puncaknya sudah berkomitment untuk samakan persepsi. Di tingkat
teknis, itu bermakna mencari kriteria bersama. Kita tinggalkan kriteria wujudul hilal, kita tinggalkan krietria imkan rukyat 2 derajat, mari kita rumuskan kriteria hisab rukyat yang baru. Masing-masing manju selangkah. Kita bisa bersatu, walau metode
berbeda (hisab atau rukyat) dengan menyepakati kriteria bersama. Tingggal satu
langkah lagi. Mari kita dukung.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada September 26, 2007 inci Hisab-Rukyat

 

Mari Bersatu Berhari Raya

Kita Bisa Bersatu Berhari Raya
T. Djamaluddin, LAPAN Bandung

Muhammadiyah telah mengumumkan Idul Fitri 12 Oktober 2007. Beritanya dan maklumatnya termuat di situs resminnya. Kebetulan situs tersebut juga memuat tanggapan pembacanya, maka saya pun turut menulis tanggapan saya dan saran saya kepada Muhammadiyah khususnya dan semua ormas Islam di Indonesia pada umumnya. Ini bisa dilihat di
http://www.muhammadiyah.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=588&Itemid=2&lang=en
Agar bisa juga dibaca secara utuh, tanggapan tersebut saya masukan juga di blog saya.

Kini bukan zamannya mempertentangkan hisab atau rukyat. Kita yakin
hasil keduanya bersifat ijtihadiyah. Hitungan astronomi memang akurat,
tetapi memutuskan "masuknya tanggal 1" adalah hasil ijtihad, yang bisa
salah dan bisa benar. Muhammadiyah berijtihad masuknya tanggal 1
didasarkan pada kriteria "wujudul hilal" + prinsip wilyahtul hukmi
untuk menetapkan 1 syawal jatuh pada 12 Oktober. Persis juga
berlandaskan hisab, tetapi berijtihad dengan kriteria "wujdul hilal di
seluruh Indonesia" sehingga memutuskan 1 Syawal 13 Oktober 2007.

Secara
astronomi, keputusan kapan 1 Syawal bisa berbeda-beda tergantung
kriterianya. Sebagai hasil ijtihad, kriteria mestinya bisa berubah.
Mari kita maju selangkah untuk mencari kriteria bersama yang bisa
menyatukan ummat Islam, baik yang berpegang rukyat maupun hisab. Semua
Ormas bisa melakukanya.

Keputusan sudah diambil, masih mungkinkah kita bersatu?
Mungkin. Secara fiqih masih dimungkinkan tidak shaum pada 12 Oktober
(karena dianggap sudah Idul Fitri), tetapi menunda shalat ied 13
Oktober (kalau keputusan sidang itsbat seperti itu). seperti dilakukan
Dewan Syariah PKS Pusat tahun lalu yang membuat edaran bolehnya menunda
shalat Ied demi kemashlahatan ummat. Memang banyak ulama yang
membolehkannya. Salah satu alasannya, para perukyat yang sudah
tahu melihat hilal awal Syawal tidak melaksanakan sendiri, tetapi
melaporkan dulu kepada Nabi lalu Nabi memerintahkan shalat Idul Fitri
hari berikutnya. Analog atau qiyasnya, Muhammadiyah yang berpendapat
Idul Fitri 12 Oktober kemudian melaporkan kepada Sidang Itsbat, dan —
misalkan nanti keputusannya 13 Oktober– mengumumkan shalt Idul Fitri
13 Oktober (walau sudah tidak shaum 12 Oktober).

Ayo bersatu. Jangan buat dikhotomi Pemerintah vs Ormas atau NU vs Muhammadiyah atau rukyat vs hisab.
Penentuan awal Ramadhan dan hari raya, juga awal bulan qamariyah
lainnya adalah masalah ijtihadiyah pada kriteria. Banyak orang terlalu picik
menyebut hisab lebih unggul dari rukyat atau sebaliknya rukyat lebih
unggul dari hisab. Dari segi astronomi, keduanya berkedudukan sama.

Mengapa Idul Fitri sebaiknya bersatu? Karena Idul fitri, bukan hanya
dimensi ibadah, tetapi ada dimensi sosial (ibadah masal) dan punya
nilai syiar yang sangat bagus untuk menunjukkan ukhuwah. Menjaga
ukhuwah adalah wajib dan melaksanakan shalat Idul Fitri adalah sunnah,
maka utamakan yang wajib.

Ayo kita bersatu demi ukhuwah. Malu kita ditertawakan orang non-Islam
dan ditertawakan oleh komunitas astronomi sendiri (banyak loh orang
yang tak faham astronomi bicara banyak soal aspek teknis sekadar untuk
memperkuat argumen fikihnya). Kita bisa bersatu. Pemerintah sudah
beritikad baik mengakomadasi semua kepentingan masyarakat Islam melalui
sidang itsbat, mari kita hargai tanpa curiga.

Mari kita belajar pada kesepatakan jadwal shalat. Jadwal shalat pada
dasarnya sama dengan penentuan awal bulan. Pada awalnya dengan
pengamatan (rukyat) dari keadaan langit (fajar, terbit, zawal,
terbenam, syafak) dan bayangan matahari. Lalu ketika berkembang ilmu
hisab, maka dirumuskan ketinggian matahari sekian derajat untuk
masing-masing waktu shalat. Sebenarnya masih ada perdebatan soal kriteria itu. Lalu
semua ormas bisa bersepakat untuk mengambil kriteria yang ditetapkan
Departemen Agama bahwa shubuh z=110, Dzuhur tengah hari + ikhtiati,
asar= tan(za) = tan(zd) + 1, maghrib = terbenam + ikhtiyati, isya
z=108. Kalau mau rukyat lihat fenomena langit dan bayangan silakan,
kalau percaya pada hisab yang tertera pada jadwal shalat silakan.
Rukyat dan hisab pada penentuan jadwal shalat dianggap sama kedudukannya. Semua ormas sudah sepakat dengan
kriteria yang dibuat pemerintah untuk jadwal shalat dan eksistensi
rukyat dan hisab tetap dihargai. Kita sedang menuju ke sana untuk penentuan awal bulan qamariah. Badan
Hisab Rukyat Depag sedang mengupayakan kesepakatan kriteria untuk
dijadikan kriteria bersama awal bulan semua pihak. Nanti kriteria
Muhammadiyah soal wujudul hilal, krietrai NU yang tingginya 2 derajat,
kriteria Persis wujudul hilal di seluruh Indonesia, semuanya maju
selangkah menuju kriteria bersama. Mari kita dukung untuk bersatu,
hilangkan egoisme ormas demi ukhuwah. Kita bisa bersatu.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada September 24, 2007 inci Hisab-Rukyat