RSS

Arsip Kategori: Sains Antariksa & Astronomi

Struktur Alam Semesta

Pancaran Inframerah: Menguak Struktur Alam Semesta

(Dimuat Pikiran Rakyat, 2 Okt 1995)

T. Djamaluddin

Peneliti Bidang Matahari dan
Lingkungan Antariksa, LAPAN Bandung

================================================================
Catatan:

Subhanallah. Bukti baru dari pengamatan teleskop antariksa Hubble mengungkapkan keberadaan “energi gelap” (energi yang belum diketahui hakikatnya) yang mempercepat pengembangan alam semesta. Isi alam semesta ini yang tampak hanya <1%, 73% energi gelap, dan sisanya “materi gelap” (materi tak tampak). http://www.skyandte…lescope.com/community/skyblog/newsblog/89139742.html

Tulisan lama saya ini — cerita tentang menguak struktur alam semesta dari survey kolaborasi bersama teman-teman di Univ. Kyoto tahun 1990-an  — masih relevan saya masukkan dalam dokumentasi blog saya untuk memberikan pemahaman awal tentang struktur alam semesta yang pengembangannya dipelajari dari gerak menjauh galaksi-galaksi. Kerja kolaborasi tsb makalahnya dapat dibaca di

http://articles.adsabs.harvard.edu/cgi-bin/nph-iarticle_query?1993MNRAS.262…79Y&amp;data_type=PDF_HIGH&amp;whole_paper=YES&amp;type=PRINTER&amp;filetype=.pdf

http://articles.adsabs.harvard.edu/cgi-bin/nph-iarticle_query?1993ApJS…89…57Y&amp;data_type=PDF_HIGH&amp;whole_paper=YES&amp;type=PRINTER&amp;filetype=.pdf

==============================================================


Komponen terkecil alam semesta dalam tinjauan skala besar adalah galaksi. Galaksi sendiri sebenarnya adalah kumpulan milyaran bintang. Tetapi dalam skala besar alam semesta, galaksi-galaksi itu hanya dipandang sebagai titik-titik yang tersebar di dalam ruang yang amat besar. Dari pengamatan jarak dan sebaran galaksi-galaksi diketahui bahwa galaksi-galaksi itu berkelompok membentuk gugusan galaksi (Cluster). Daerah kosong yang tidak mengandung galaksi disebut kehampaan (void). Tetapi ternyata tidak semua daerah langit berhasil dipetakan. Ada zona gelap yang masih merupakan wilayah kabur yang belum banyak diketahui struktur sebaran galaksi pada arah itu. Ini menantang astronom untuk berusaha menembusnya, diantaranya dengan mendeteksi pancaran sinar inframerah dari galaksi-galaksi luar.

Gugusan Galaksi


Bila kita melihat foto langit hasil pemotretan dengan teleskop besar, misalnya foto survai langit oleh observatorium Palomar (Palomar Observatory Sky Survey, POSS), yang terlihat adalah titik-titik putih. Itu adalah bintang-bintang yang berada di galaksi kita. Kalau kita teliti lebih cermat dengan menggunakan lup (kaca pembesar), pada daerah-daerah tertentu ada titik-titik yang bentuknya bukan seperti titik biasanya, melainkan berbentuk agak lonjong atau bahkan disertai bentuk “S” yang kabur. Objek-objek seperti itu adalah galaksi yang sangat jauh. Karena jaraknya yang amat jauh, ratusan milyar bintang pada galaksi itu hanya tampak sebagai satu noktah terang. Di beberapa daerah langit kita bisa menjumpai adanya kumpulan galaksi di sela-sela titik-titik bintang.

Dengan mempelajari spektrum cahaya galaksi-galaksi itu, astronom bisa menentukan jaraknya. Ternyata galaksi-galaksi itu berkelompok. Kelompok terkecil menempati ruang dalam skala tiga juta tc (tc : tahun cahaya, jarak yang ditempuh cahaya dalam waktu satu tahun dengan kecepatan 300.000 km/detik; 9,5 trilyun km), misalnya yang disebut grup lokal yang berisi 21 galaksi, termasuk galaksi kita (galaksi Bima Sakti). Kelompok-kelompok kecil itu membentuk kelompok yang lebih besar yang disebut gugus raksasa (supercluster). Gugus raksasa itu menempati ruang berskala 60 juta tc atau lebih.

Menurut hasil penelitian dalam dasa warsa terakhir ini, diketahui bahwa struktur alam semesta terdiri dari gugus raksasa yang membentuk seperti pita (filamen) atau bidang dan void (kehampaan) yang besar. Void didefinisikan sebagai ruang alam semesta yang tidak mengandung galaksi dalam rentang 90 juta tc.

Sebagian besar gugus galaksi itu berkumpul dalam gugus raksasa yang berbentuk seperti bidang yang disebut bidang super galaktik. Gugus raksasa lainnya yang telah diketahui berbentuk filamen, misalnya filamen Hydra (melalui rasi Hydra) dan filamen Puppis (melalui rasi Puppis).

Struktur gugus raksasa itu kini terus dipelajari untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap tentang struktur alam semesta kita. Tetapi para astronom mendapat kendala karena ada langit yang tidak transparan, sehinggga di daerah itu sedikit sekali galaksi luar yang terlihat. Daerah itu disebut zona langka galaksi atau zona gelap (zone of avoidance), yang struktur sebaran galaksinya tidak banyak kita ketahui.

Zona Gelap


Galaksi kita, galaksi Bima Sakti, sebenarnya bukan hanya terdiri dari bintang-bintang, tetapi juga awan gas dan debu yang biasanya disebut awan molekul. Seperti halnya awan di angkasa bumi menghalangi pengamatan bintang, awan molekul menghalangi pengamatan galaksi-galaksi luar yang lebih jauh dari bintang-bintang yang biasa kita lihat. Akibat serapan cahaya oleh kumpulan awan molekul di hampir seluruh bidang galaksi kita itu, menyebabkan daerah langit yang dilalui Bima Sakti sebagai zona gelap. Hanya sebagian kecil saja yang sedikit mengandung awan molekul yang dikenal sebagai jendela galaksi, misalnya di sekitar Puppis. Di daerah Puppis ini jumlah galaksi luar yang teramati relatif banyak dibandingkan dengan di daerah bidang galaksi lainnya.

Untuk mengetahui lebih jelas struktur alam semesta dalam skala besar, telaah sebaran galaksi-galaksi di zona gelap ini sangat diperlukan. Tetapi bagaimana? 


Galaksi-galaksi luar itu memancarkan sinar infra merah yang cukup kuat. Sifat sinar infra merah yang utama adalah kemampuannya menembus halangan awan molekul. Sehingga kalau kita menggunakan kamera yang peka menangkap pancaran sinar infra merah dari galaksi-galaksi luar itu, kita akan melihat lebih banyak galaksi luar di zona gelap itu.


Maka pencarian galaksi di zona gelap itu dilakukan terutama dengan memanfaatkan hasil survai langit yang mendeteksi pancaran sinar infra merah. Pencarian ini dapat dilakukan dengan memanfaatklan data IRAS (Infrared Astronomical Satelite) yang dikonfirmasikan secara visual pada foto langit (paper print) POSS (Palomar Observatory Sky Survey) dan atlas inframerah UK Schmidt.


Dari hasil pencarian itu diperoleh ribuan galaksi di zona gelap itu. Setelah dianalisis, struktur sebarannya menunjukkan adanya kesinambungan gugus galaksi raksasa yang membentuk filamen Hydra dan Puppis dan beberapa filamen lainnya. Sebelumnya struktur yang “terpenggal” oleh zona gelap masih merupakan teka-teki, apakah struktur itu bersambung atau memang terpenggal.

Dengan telaah sinar infra merah yang dipancarkan galaksi-galaksi luar teka-teki itu terjawab. Tetapi masih diperlukan telaah lebih mendalam untuk mempelajari struktur alam semesta yang lebih lengkap lagi. Kini dengan teleskop pendeteksi sinar infra merah yang lebih canggih yang berada di satelit di luar angkasa usaha itu masih diteruskan. Semakin jauh kita menembus kedalaman langit menguak struktur alam semesta, kita akan makin tahu kekecilan galaksi kita, apalagi bumi dan diri kita sendiri.

 
2 Komentar

Ditulis oleh pada Maret 30, 2010 inci Sains Antariksa & Astronomi

 

Percepatan-Perlambatan Rotasi Bumi

ROTASI BUMI
DIPERCEPAT OLEH GEMPA DAN DIPERLAMBAT PASANG SURUT BULAN

 

Beberapa hari setelah gempa Chile 27 Februari
2010 peneliti JPL NASA mengabarkan bahwa gempa Chile berdampak pada percepatan
rotasi bumi dan pergeseran poros ”gambar bumi”. Bagi sebagian orang, berita
tersebut mengejutkan. Tetapi sebenarnya, percepatan dan pelambatan rotasi bumi terus terjadi. Bumi kita secara konstan diperlambat
olah pasang surut bulan dengan efek yang lebih kuat. Apa yang sesungguhnya terjadi?

 

 

http://www.jpl.nasa.gov/news/news.cfm?release=2010-071

Chilean Quake May Have Shortened Earth Days

March 01, 2010

The Feb. 27 magnitude 8.8 earthquake in Chile may have shortened the length
of each Earth day.

JPL research scientist Richard Gross computed how Earth’s rotation should have
changed as a result of the Feb. 27 quake. Using a complex model, he and fellow
scientists came up with a preliminary calculation that the quake should have
shortened the length of an Earth day by about 1.26 microseconds (a microsecond
is one millionth of a second).

Perhaps more impressive is how much the quake shifted Earth’s axis. Gross
calculates the quake should have moved Earth’s figure axis (the axis about
which Earth’s mass is balanced) by 2.7 milliarcseconds (about 8 centimeters, or
3 inches). Earth’s figure axis is not the same as its north-south axis; they
are offset by about 10 meters (about 33 feet).

By comparison, Gross said the same model estimated the 2004 magnitude 9.1
Sumatran earthquake should have shortened the length of day by 6.8 microseconds
and shifted Earth’s axis by 2.32 milliarcseconds (about 7 centimeters, or 2.76
inches).

Gross said that even though the Chilean earthquake is much smaller than the
Sumatran quake, it is predicted to have changed the position of the figure axis
by a bit more for two reasons. First, unlike the 2004 Sumatran earthquake,
which was located near the equator, the 2010 Chilean earthquake was located in
Earth’s mid-latitudes, which makes it more effective in shifting Earth’s figure
axis. Second, the fault responsible for the 2010 Chiliean earthquake dips into
Earth at a slightly steeper angle than does the fault responsible for the 2004
Sumatran earthquake. This makes the Chile fault more effective in
moving Earth’s mass vertically and hence more effective in shifting Earth’s
figure axis.

Gross said the Chile
predictions will likely change as data on the quake are further refined.


Pergeseran
lempeng yang sebenarnya menyebabkan perubahan rotasi itu, bukan gempanya. Gempa
sekadar indikator pelepasan energi akibat pergeseran lempeng bumi. Karena ada
pergeseran lempeng bumi, maka kesetimbangan "bola" bumi berubah. Sesungguhnya
"bola" bumi bukanlah bola sempurna, tetapi bola pepat di arah kedua kutubnya
(oblate spherical) dengan distribusi massa yang tidak merata. Dalam geodesi,
bentuk bumi yang tak mulus itu menjadi kajian menarik. Poros "gambar
bumi" geodetik itu dirumuskan sebagai poros yang menjadikan massa bumi relatif
setimbang di sekitar poros. Jadi poros "gambar bumi" (Earth’s figure
axis) tidak sama dengan poros astronomis (poros utara selatan) yang
menggambarkan poros rotasi bumi.

 

Apa akibat
pergeseran lempeng? Kesetimbangan "gambar bumi" sedikit berubah karena
titik massa kulit bumi bergesar. Akibatnya, poros "gambar bumi"
bergeser. Untuk kasus gempa Chile 2010 pergeserannya sekitar 8 cm (sudutnya
bergeser 2,7 mili detik busur =0,00000075 derajat, terlalu kecil untuk
dilihat). Dan untuk gempa Aceh 2004 pergeserannya 7 cm (sudutnya bergeser 2,32
mili detik busur = 0,00000064 derajat).

 

Akibat pergesaran
kesetimbangan massa bumi, rotasi bumi dipercepat 1,26 mikro detik =
0,000000126 detik, manusia tidak mungkin merasakannya). Sebenarnya soal percepatan-perlambatan
rotasi bumi, bukan hanya disebabkan oleh pergeseran lempeng. Efek pasang surut bulan
juga menyebabkan rotasi bumi diperlambat 0,00002 detik per tahun, jauh lebih kuat efeknya daripada gempa (lihat blog saya ”Sinkronisasi Bumi-Bulan” di

http://t-djamaluddin.spaces.live.com/default.aspx?_c01_BlogPart=blogentry&_c=BlogPart&handle=cns!D31797DEA6587FD7!136

 

 

 
2 Komentar

Ditulis oleh pada Maret 4, 2010 inci Sains Antariksa & Astronomi

 

Orasi Profesor Riset (2/2)

MEMBUMIKAN ASTRONOMI UNTUK MEMBERI SOLUSI (2/2)

T. Djamaluddin


Pengantar: Alhamdulillah, saya dikukuhkan sebagai Profesor Riset ke -287 nasional (dari 7.816
peneliti secara nasional) dan ke-11 LAPAN (dari 272 peneliti LAPAN)
pada 9 Desember 2009 dengan orasi "Membumikan Astronomi untuk Memberi
Solusi". Ini bagian kedua (terakhir) orasi saya.

III. MEMBUMIKAN ASTRONOMI

Majelis
dan hadirin yang saya hormati,

Sejak awal masuk sebagai peneliti LAPAN,
kesadaran bahwa astronomi sebagai ilmu murni tidak mungkin dikembangkan di
LAPAN seperti halnya di ITB dengan fasilitas Observatorium Bosscha, sudah
mengarahkan orientasi penelitian saya untuk membumikan astronomi, dalama makna mencari pemanfaatan astronomi bagi
kehidupan di bumi. Oleh karenanya sejak awal saya telah berupaya untuk
membumikan astronomi dengan mencari aplikasi fenomena astronomis yang secara
langsung memberi manfaat untuk pemahaman tentang ruang kehidupan di bumi. Salah
satunya adalah pemahaman karakteristik gerhana bulan yang dapat menggambarkan
kondisi lingkungan atmosfer bumi. Hasil kajian itu saya tuliskan dalam dua
makalah
Analisis
Bayangan Gerhana Bulan Untuk Menafsirkan Karakteristik Atmosfer Atas”
(Djamaluddin, 1987b), dan “Interpretasi Penyebaran Debu Letusan Gunung Api dari
Bayangan Gerhana Bulan” (Djamaluddin, 1987c).

Seusai menyelesaikan
pendidikan di Jepang dengan fokus penelitian tentang materi antarbintang dan
pembentukan bintang, hal-hal yang saya upayakan untuk membumi adalah pemahaman
baru tentang pembentukan tata surya, sisa-sisanya berupa debu antarplanet,
komet, dan meteoroid, serta dampaknya pada bumi. Makalah pertama yang saya
tulis pada awal saya kembali aktif sebagai peneliti LAPAN adalah ulasan tentang
Evolusi
Planet Bumi dan Pengaruh Lingkungan Tata 
Surya” (Djamaluddin, 1994).
Kemudian mengarahkan program penelitian terkait dengan pengaruh kosmogenik
(berasal dari lingkungan antariksa) pada lingkungan bumi.

Penelitian dalam program penelitian tahunan 1995 bertema “Pengaruh
Mikrometeoroid dari Komet pada Pembentukan
Awan dan Curah Hujan”
hasilnya dipublikasi di Majalah LAPAN (Djamaluddin, Suryantoro, dan 
Suaydhi, 1996). Walau pun belum menemukan bukti yang kuat tetapi diperoleh
adanya indikasi debu-debu mikrometeoroid dari komet berpengaruh pada
peningkatan curah hujan. Interpretasi yang saya bahas dalam makalah tersebut
adalah kemungkinan mekanismenya terkait dengan peran mikrometeoroid sebagai
inti kondensasi awan tinggi (cirrus) yang kemudian butiran es itu menjadi inti
kondensasi bagi awan rendah. Interpretasi tersebut sebenarnya memerlukan
penelitian lanjutan karena selama ini awan cirrus selalu dianggap terbentuk
dari mekanisme pembentukan awan konvektif cumulonimbus yang menjulang sampai
troposfer atas. Sayangnya ketiadaan data pendukung untuk analisis partikel pada
air hujan menyebabkan penelitian lanjutan belum dapat saya lakukan. Kajian
lanjutan baru sampai pada ulasan “
Keterkaitan antara Komet dan Hujan Meteor”
(Djamaludin, 1998) yang membahas lebih rinci tentang hujan meteor yang
dikaitkan dengan orbit komet-komet untuk mengidentifikasi kemungkinan pengaruhnya
di Indonesia.

Penelitian pengaruh lingkungan antariksa kemudian mengarah pada pengaruh
aktivitas matahari dan pasang-surut bulan-matahari pada bumi. Hasil penelitian
itu dipublikasi dengan judul “
Pengaruh Aktivitas Matahari dan Faktor lainnya pada Suhu Atmosfer
Permukaan di Indonesia” (Djamaluddin,  Admiranto, dan Sinambela, 1997) dan
” Efek
Pasang Surut Bulan dan Aktivitas Matahari ter
hadap Curah Hujan di
Indonesia” (Djamaluddin, 1997). Walau ada indikasi pengaruh aktivitas matahari,
tetapi pengaruh pada suhu di Indonesia sebenarnya kurang tampak, karena
variasinya memang tidak terlalu besar. Pengaruh aktivitas matahari dan
pasang-surut bulan-matahari baru tampak pada curah hujan, khususnya untuk curah
hujan di Jakarta (sebagai sampel dengan data yang cukup panjang) yang cenderung
meningkat saat aktivitas matahari meningkat. Demikian juga periodisitas
pasang-surut bulan-matahari (luni-solar) juga mengindikasikan adanya pengaruh
pada curah hujan di Indonesia.

Pengetahuan baru tentang analisis wavelet yang saya peroleh saat workshop
di Brazil segera saya sebarkan kepada para peneliti LAPAN di Bandung dan segera
saya aplikasikan untuk mengkaji pengaruh aktivitas matahari pada liputan awan
di Indonesia. Hal menarik, penelitian
"Efek Pasang Surut Bulan dan Aktivitas Matahari pada Penyebaran Awan
di Indonesia" (Djamaluddin, 1998)
mengungkapkan secara meyakinkan berdasarkan analisis spektral wavelet bahwa
liputan awan di Indonesia terpengaruh oleh aktivitas matahari (terutama pada
musim kering) dan pasang-surut bulan-matahari. Memang analisis spektral lazim
digunakan untuk mengkaji pengaruh suatu fenomena terhadap fenomena lainnya
dengan menganalisis spektral periodisitasnya, dalam kondisi banyak faktor yang
dapat mempengaruhinya.

Penelitian lanjutan dengan menambahkan parameter lainnya (SOI
southern oscillation index – sebagai indikasi ENSO dan indeks liputan
debu letusan gunung) dipublikasi pada beberapa makalah:  “Influence of
Solar Activities, ENSO, and Stratospheric Aerosols on Cloud Amounts Over
Western Indonesia
” (Djamaluddin, 2002), "Solar Activity Influence
on Climate in Indonesia
" (Djamaludin, 2003), dan Solar Activity Effects on Cloud Cover Over
Indonesia
” (Nugroho, and Djamaluddin, 2005)
. Penelitian lanjutan itu
menunjukkan bahwa liputan awan di atas Indonesia sangat kuat dipengaruhi oleh
liputan debu letusan gunung dan ENSO (El Nino Southern Oscillation). Analisis kemudian mengarahkan pada
indikasi bahwa mekanisme pengaruh aktivitas matahari pada liputan awan di
Indonesia tampaknya melalui mekanisme ENSO. Artinya, pengaruh aktivitas
matahari yang mengubah periodisitas ENSO yang kemudian mempengaruhi
periodisitas liputan awan di Indonesia. Indikasi itu berbeda dengan pemahaman
sampai saat itu seperti dirangkum dalam ulasan
"Bukti-bukti Empirik Pengaruh Aktivitas
Matahari pada Iklim" (Djamaluddin, 2001). Justru indikasi seperti itu
mulai dikaji oleh para peneliti secara lebih mendalam dalam beberapa tahun
belakangan terkait dengan peranan laut dalam hubungan matahari-bumi.

Upaya saya
membumikan astronomi dengan mengembangkan penelitian dampak antariksa pada bumi
dipublikasi dalam makalah ”Mencari Aplikasi Astronomi: Faktor Kosmogenik pada
Iklim" (Djamaluddin, 2001) dan "Space Based Data: Between Pure
Science and Down-to-Earth Application in Indonesia" (Djamaluddin, 2004).
Bukan mengada-ada, tetapi itu merupakan upaya agar pemahaman astronomi yang
mencakup fenomena alam yang luas dapat dimanfaatkan bukan sekadar untuk
pengembangan sains.

Kajian tentang
dampak lingkungan antariksa pada bumi difokuskan pada masalah sampah antariksa.
Ini adalah awal penelitian tentang sampah antariksa yang menjadikan LAPAN
sebagai satu-satunya pusat informasi di Indonesia tentang sampah
antariksa.  Lingkungan antariksa yang mengandung ancaman tumbukan antara
satelit dengan benda antariksa alami (meteoroid) dan sampah antariksa diulas
dalam makalah
"Masalah
Meteoroid dan Sampah Antariksa pada Satelit Geostasioner" (Djamaluddin,
2002) dan "Risiko Benda Jatuh Antariksa" (Djamaluddin, 2003).
Penelitian komprehensif tentang sampah antariksa yang dipengaruhi aktivitas
matahari dipublikasikan dalam makalah "Pengaruh Aktivitas  Matahari
Pada Kalahidup Satelit " (Djamaluddin, 2005). Penelitian tersebut
menunjukkan secara lebih jelas bahwa pada masa matahari aktif, potensi sampah
antariksa jatuh ke bumi lebih banyak terjadi, artinya potensi bencana benda
jatuh antariksa di wilayah Indonesia yang merupakan daerah ekuator yang cukup
panjang relatif meningkat.
Hal
ini harus menjadi perhatian bagi LAPAN dalam memberikan layanan informasi
potensi bahaya benda jatuh antariksa. Terkait dengan kondisi fisik lingkungan
antariksa di wilayah orbit satelit, ulasannya dituliskan dalam makalah “Kondisi
Lingkungan Antariksa di Wilayah Orbit Satelit” (Djamaluddin, 2006).

IV. ASTRONOMI
MEMBERIKAN SOLUSI

Majelis
dan hadirin yang saya hormati,

Membumikan astronomi tentu berorientasi pada upaya mencari
aplikasinya yang memberi manfaat bagi masyarakat dan memberikan solusi bagi
permasalahan yang terjadi di masyarakat. Dua hal utama yang saya awali adalah
kajian benda jatuh antariksa di wilayah Indonesia dan tawaran solusi penyatuan
hari raya umat Islam dengan penyatuan kriteria astronomis tanpa
mempermasalahkan perbedaan metode hisab dan rukyat, namun tetap merujuk pada
dalil-dalil syar’i (hukum-hukum agama) yang disepakati bersama.

Pemahaman
astronomi orbit saya manfaatkan untuk mengkaji dan mengevaluasi benda jatuh
antariksa di Gorontalo (1981) dan Lampung (1988) yang lama tersimpan di
Kedeputian Teknologi Dirgantara LAPAN dan data waktu jatuhnya terdokumentasi
oleh Pusat Informasi dan Kedirgantaraan LAPAN. Saya berhasil
mengidentifikasikan kedua benda jatuh itu sebagai bagian dari motor roket SL-8
dan SL-4 milik Rusia, sedangkan lempengan yang jatuh di Bengkulu (2003)
berhasil saya identifikasi sebagai pecahan roket CZ-3 milik RRC. Saat stasiun
antariksa Mir jatuh terkendali pada 2001 dan satelit Bepposax jatuh tak
terkendali pada 2002, kajian orbitnya dimanfaatkan untuk memberikan layanan
informasi intensif kepada pemerintah dan masyarakat melalui situs web LAPAN dan
jalur komunikasi lainnya terkait potensi bencana benda jatuh antariksa,
berkoordinasi dengan Badan Nasional Pengendalian Bencana (BNPB). Terkait dengan
mitigasi bencana benda jatuh antariksa tersebut telah dipublikasikan makalah
"Analisis Orbit dan Identifikasi Benda Jatuh Antariksa di Indonesia"
(Djamaluddin, 2004).

Pada sisi lain astronomi telah memberikan perangkat penting bagi kehidupan
manusia dalam hal penentuan waktu dan arah. Oleh karenanya untuk membumikan
astronomi dan mempopularisasikannya, saya telah menuliskan makalah teknis
ilmiah astronomi dan artikel ilmiah populer tentang penentuan waktu dan arah,
khususnya terkait dengan penentuan waktu ibadah dan penentuan arah kiblat bagi
umat Islam sebagai penduduk mayoritas Indonesia.

Beberapa makalah ilmiah dalam kaitan dengan pemanfaatan astronomi untuk
aplikasi di masyarakat telah saya publikasikan: “
Peran Penting Almanak
Astronomi di Masyarakat” (Djamaluddin, 1995),
"Visibilitas Hilal di Indonesia"
(Djamaluddin, 2000), "Re-evaluation of Hilaal Visibility in Indonesia",
(Djamaluddin, 2001), "Calendar Conversion Program Used to Analyze Early
History of Islam
" (Djamaluddin, 2001), dan "Prospek Astronomis
pada Penyatuan Kalender Islam di Indonesia” (Djamaluddin, 2003).

           
Melalui berbagai tulisan di media massa, seminar, ceramah, dan pelatihan, saya
mengupayakan titik temu antarormas Islam dalam penentuan awal Ramadhan, Idul
Fitri, dan Idul Adha dengan pendekatan astronomis yang dilandasi dalil-dalil
syar’i (hukum-hukum agama). Pada dasarnya perbedaan hari raya bukan disebabkan
oleh perbedaan metode hisab (perhitungan) dan rukyat (pengamatan), tetapi
karena perbedaan kriteria awal bulan. Selama ini ada dua kriteria dasar yang
sering menyebabkan perbedaan ketika tinggi bulan di antara kedua kriteria itu.
Kriteria wujudul hilal (bulan sabit sudah berada di atas ufuk) dengan tinggi
bulan sekitar 0 derajat yang digunakan Muhammadiyah dan kriteria imkan rukyat
(kemungkinan rukyat/teramati) dengan ketinggian bulan sekitar 2 derajat yang
digunakan Nahdlatul Ulama (NU). Jadi ketika tinggi bulan sekitar 0 – 2 derajat
dapat dipastikan akan terjadi perbedaan hari raya, seperti tahun 2006 dan 2007
lalu.

           
Berdasarkan kajian data rukyat di Indonesia dan analisis astronomis
(Djamaluddin, 2000), saya mengusulkan penyempurnaan dengan kriteria baru yang
saya sebut kriteria LAPAN. Dengan mengupayakan kriteria baru yang disepakati
(apakah kriteria LAPAN atau kriteria lain) insya-allah perbedaan penentuan hari
raya dapat dikurangi. Tinggal masalah pada beberapa kelompok kecil yang masih
menggunakan cara non-astronomis, seperti rukyat global, penentuan dengan hisab
urfi (perhitungan konstan), atau dengan penentuan pasang air laut. Untuk
masalah terakhir ini, pendekatannya bukan lagi secara astronomis, tetapi harus
dengan pendekatan lain.

           
Contoh nyata penyatuan umat lewat kesepakatan kriteria adalah dalam penentuan
jadwal shalat. Walau sebenarnya ada beberapa kriteria tinggi matahari untuk
jadwal shalat, ternyata semua ormas Islam dapat sepakat dengan kriteria yang
saat ini digunakan Departemen Agama RI. Hal serupa juga dapat terwujud kalau
semua ormas Islam dapat menyepakati satu kriteria awal bulan. Saat ini
upaya-upaya sosialisasi dan pendekatan masih terus dilakukan dan ada
tanda-tanda positif menuju titik temu. Semoga dalam waktu tidak terlalu lama
lagi dapat dicapai satu kesepakatan. Kalau belum tercapai, tahun 2010 – 2014
kita akan menghadapi lagi perbedaan awal Ramadhan dan hari raya, setelah dua
tahun (2008 – 2009) posisi bulan-matahari memungkinkan kita untuk bersatu walau
dengan kriteria berbeda.



 

V. PENUTUP

Majelis
dan hadirin yang saya hormati,

           
Perjalanan karir fungsional saya konsisten mengembangkan astronomi sebagai
sains dan membumikan astronomi untuk memberi solusi bagi masyarakat. Sebagai
tanggung jawab ilmiah dan sosial sebagai seorang peneliti, saya telah berupaya
agar astronomi dapat berkontribusi dalam memajukan masyarakat melalui upaya
para penelitinya dengan pubikasi ilmiah yang berkualitas serta layanan informasi
yang mencerdaskan, menjelaskan, dan mengingatkan masyarakat. Secara langsung
atau tak langsung, astronomi, sebagai kompetensi  individual saya serta
tugas dan fungsi institusional  di Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa
LAPAN, telah turut berkontribusi dalam menjelasksan fenomena astronomis yang
menjadi perhatian masyarakat (seperti badai matahari, gerhana, oposisi Mars,
komet, dan meteor), dalam mengupayakan mitigasi benda jatuh antariksa, dan
dalam memberikan solusi penyatuan hari raya yang berdampak sosial.

Ucapan Terima Kasih

Majelis dan hadirin yang saya
hormati,

Aspek
humanistik perjalanan karir peneliti saya
, telah saya tuliskan dalam artikel ”Astronomi Jalan Hidup” di blog
saya    http:\\t-djamaluddin.spaces.live.com
, termasuk tekad saya untuk mencapai Profesor Riset pada 2009 ini. 
Walaupun karir fungsional lebih banyak ditentukan oleh diri sendiri (berbeda
dengan karir struktural), harus saya ungkapkan bahwa banyak orang telah
berperan membantu saya. Pada akhir orasi ini, izinkan saya untuk menyampaikan
ucapan terima kasih kepada banyak pihak yang telah mengantarkan saya pada
jabatan Peneliti Utama IVe dan Profesor Riset bidang astronomi-astrofisika,
tanpa menyebutkan satu per satu karena demikian banyaknya.

Ucapan terima
kasih yang pertama tentu saya sampaikan kepada kedua orang tua saya yang telah
menanamkan kegigihan dan kejujuran yang menjadi bekal dalam segala langkah perjalanan
saya. Demikian juga kepada para guru dan pembimbing saya yang telah memberi
bekal ilmu dan semangat ilmiah. Kepada para pimpinan, Tim Penilai Peneliti
Instansi (TP2I) dan Tim Penilai Peneliti Pusat (TP3) beserta staf
sekretariatnya, kolega peneliti, staf teknisi, dan staf administrasi LAPAN yang
telah membantu melancarkan karir fungsional saya. Kepada Kepala LIPI selaku
Ketua Majelis Pengukuhan Profesor Riset beserta anggota Majelis maupun Tim
Penilai Naskah Orasi kami ucapkan terima kasih atas kepercayaan mengukuhkan
saya sebagai profesor riset. Juga kepada keluarga saya, istri dan anak-anak,
yang telah menjadi pendorong semangat dalam perjalanan karir saya.

Namun, dari sekian banyak orang yang berjasa, saya
harus menyebut satu nama yang paling banyak memberi warna semangat astronomis
dalam hidup saya, Prof. Dr. Bambang Hidayat. Pak Bambang adalah pembimbing
semasa mahasiswa di ITB, atasan di LAPAN saat saya menyelesaikan pendidikan di
Jepang, dan pendorong semangat ketika saya meniti karir peneliti astronomi.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

 

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Desember 10, 2009 inci Sains Antariksa & Astronomi

 

Orasi Profesor Riset (1/2)

MEMBUMIKAN ASTRONOMI UNTUK MEMBERI SOLUSI (1/2)

T. Djamaluddin


Pengantar: Alhamdulillah, saya dikukuhkan sebagai Profesor Riset ke -287 nasional (dari 7.816
peneliti secara nasional) dan ke-11 LAPAN (dari 272 peneliti LAPAN)
pada 9 Desember 2009 dengan orasi "Membumikan Astronomi untuk Memberi
Solusi". Ini bagian pertama orasi saya.


Assalamu’alaikum wr. wb.,

 

Majelis Pengukuhan
Profesor Riset dan hadirin yang saya hormati,

 

Alhamdulillah, Allah telah memberikan bimbingan dan kekuatan kepada saya
untuk mencapai jabatan fungsional tertinggi, Peneliti Utama IVe bidang
Astronomi-Astrofisika. Dengan orasi ilmiah ini, insya-allah jabatan profesor
riset akan dikukuhkan. Jabatan profesor riset adalah jabatan tertinggi yang
dicita-citakan oleh seorang peneliti dalam pengembangan karir fungsionalnya.

Orasi ilmiah ini merupakan uraian jejak ilmiah karir fungsional saya di
hadapan Majelis Pengukuhan Profesor Riset dan para hadirin, dengan memaparkan perjalanan
kegiatan kepakaran saya yang berangkat dari astronomi murni, kemudian
membumikan astronomi dalam makna mencari pemanfaatan astronomi bagi kehidupan
di bumi, sampai pemikiran saya dalam memberikan solusi bagi pemerintah dan
masyarakat dengan memanfaatkan pemahaman astronomi. Oleh karenanya orasi ini
saya beri judul :

 

MEMBUMIKAN ASTRONOMI UNTUK

MEMBERI SOLUSI

 

Dalam pemaparannya, orasi ilmiah ini saya bagi dalam lima bab berikut :

I.                   
Pendahuluan

II.                
Berangkat dari
Astronomi Murni

III.              
Membumikan Astronomi

IV.             
Astronomi Memberi
Solusi

V.                
Penutup

 

Bagi seorang Muslim, jabatan adalah amanah yang harus dijaga, bukan
dibanggakan. Oleh karenanya, orasi ini pun sebagai pertanggungjawaban amanah
jabatan fungsional Peneliti Utama saya. Dalam perjalanannya telah banyak
dibantu oleh banyak pihak: keluarga, pimpinan, kolega sesama peneliti, staf
teknisi dan administrasi, serta pihak-pihak lain, baik di LAPAN maupun di luar
LAPAN. Jazaakumullah khairan katsiraa, semoga Allah membalas mereka dengan
kebaikan yang melimpah.

 



I. PENDAHULUAN

 

Majelis dan hadirin
yang saya hormatii,

 

            Suatu
hari di kelas I SMP Negeri 1 Cirebon seorang guru meminta para siswa menuliskan
cita-citanya. Dengan mantap saya tuliskan “Menjadi Peneliti”. Ya, menjadi
peneliti adalah cita-cita saya sejak kecil. Saat SD, saya temukan sebuah kunci
gembok bekas berkarat di kebun belakang rumah lalu saya pecahkan dengan palu
dan berhari-hari saya ulik cara kerja kunci gembok tersebut. Saya juga gemar
mengamati biji-biji yang tumbuh saat awal musim hujan dan tunas pohon pisang
yang mampu menembus lapisan semen. Saya kumpulkan berbagai jenis biji dan batu.
Saya buat eksperimen kimia sendiri dengan bekas lampu neon.

            Saya memang gemar
membaca dan banyak ingin tahu akan segala sesuatu. Dengan segala keterbatasan
fasilitas, saya baca buku-buku IPA dan Ilmu Bumi untuk SMP milik kakak sepupu
saat saya duduk di kelas V SD. Ada manfaatnya juga. Guru saya memuji bahwa soal
tentang asal-usul minyak bumi saat THB (Test Hasil Belajar) hanya saya yang
bisa menjawab, padahal di kelas pun belum pernah diajarkan. Pujian itu pula
yang akhirnya membangkitkan kembali semangat saya setelah nyaris putus sekolah
karena masalah biaya.

            Semula
saya tertarik dengan penelitian tumbuhan. Namun saat kelas III SMP, saya
membaca majalah iptek populer “Mekatronika” dan “Scientiae” yang pada terbitan
waktu itu banyak mengulas soal UFO (Unidentified Flying Objects, “piring
terbang”) dan antariksa. Ketertarikan pada soal antariksa diperkuat saat SMA.
Bermula dari keinginan untuk mengkaji dan menulis tentang “UFO: Bagaimana
menurut Agama”, saya banyak membaca buku-buku dan Encyclopedia Americana yang
membahas astronomi. Alhamdulillah, dengan bantuan teman yang mengetikkan naskah
saya, tulisan itu bisa dimuat di majalah Scientiae, No. 93/1979, saat saya
kelas I SMA. Itulah publikasi hasil kajian 
saya yang pertama, walau baru sebagai karya ilmiah populer. Ada juga
hasil karya penelitian tentang kromatografi kertas yang dikirimkan dalam Lomba
Karya Ilmiah Remaja yang diselenggarakan LIPI.

            Alhamdulillah,
tawaran PP II (Proyek Perintis II, penerimaan mahasiswa tanpa test berdasarkan
penelusuran minat dan kemampuan) di ITB memberi jalan untuk menjadi peneliti
astronomi-atrofisika. Materi kuliah dan aktivitas lain yang mendukung
pematangan sikap ilmiah selama menjadi mahasiswa astronomi ITB memberi bekal
cukup banyak untuk menjadi peneliti. Motivasi Qur’aniyah juga memperkuat tekad
saya untuk mempelajari alam semesta.

 

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya
malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia,
Maha suci Engkau, maka peliharalah Kami dari siksa neraka”. (QS.3:190-191)

 

II. BERANGKAT DARI ASTRONOMI MURNI

 

Majelis dan hadirin yang saya hormati,

 

            Hanya
sempat menjadi “penganggur” selama 2 pekan, seusai wisuda sarjana astronomi di
ITB pada 16 Oktober 1986 dengan tugas akhir “Distribusi Bintang OB2 di Arah
Puppis”, saya memantapkan diri menjadi peneliti antariksa jauh di Bidang
Antariksa LAPAN sejak 1 November 1986. Makalah pertama yang saya hasilkan
sebagai peneliti junior adalah “
Pendekatan Atmosfer Kelabu bagi Fotosfer dan Sunspot
(Djamaluddin, et al., 1987). Disusul menjadi penulis tunggal ”
Koreksi Orientasi Sumbu Polar
Teleskop Ekuatorial” (Djamaluddin, 1987a), ”Analisis Bayangan Gerhana Bulan
Untuk Menafsirkan  Karakteristik Atmosfer
Atas” (Djamaluddin, 1987b), dan “Interpretasi Penyebaran Debu Letusan Gunung
Api dari Bayangan Gerhana Bulan” (Djamaluddin, 1987c). Menjelang tugas belajar
ke Jepang (April 1988) saya penyelesaikan makalah penelitian “Penentuan Posisi
Komet” (Djamaluddin, 1988). Sebagai pegawai LAPAN junior, saya telah menemukan
jalan hidup saya yang telah saya cita-citakan sejak SMP: menjadi peneliti.
Kegemaran saya menulis sejak SMP pun banyak mendukung
profesi saya.

Di Universitas Kyoto, profesionalisme sebagai peneliti
diasah dengan aktif mengikuti kegiatan ilmiah.
Beberapa makalah yang saya presentasikan: Bimodal Star Formation
(Djamaluddin, 1982
), “Interstellar Medium
in the Solar Vicinity
” (Djamaluddin, 1990), “A New H‑Beta and (CaT+P12)
CCD Photometry for Determining Distance of Nearby Interstellar Clouds

(Djamaluddin, 1991) , “Possibility of Using NIR Ca II Triplet + Paschen 12
Lines Photometry in Searching New T‑Tauri Stars
” (Djamaluddin, 1992). Fokus
penelitian saya pada program master adalah mencari metode fotometri baru untuk
penentuan jarak awan antarbintang dan mencari bintang-bintang baru.

Penelitian
lanjutan di program doktor adalah menemukan jejak evolusi bintang baru
(protostar) dari awan antarbintang menjadi bintang muda dengan data satelit
infra merah (IRAS, Infrared Astronomical Satellite). Di samping itu, bersama
grup ekstragalaksi, dengan memanfaatkan data IRAS dan peta bintang, saya turut
melakukan survai untuk menemukan struktur besar alam semesta dari data
inframerah yang sebelumnya tak tampak. Hasil survai tim peneliti tersebut
dipublikasikan menjadi “A Search for IRAS Galaxies Behind the Southern
Milky  Way
” (Yamada et al., 1993)
dan “Connection of Large‑Scale of the Galaxy Distribution  behind the Southern Milky Way” (Yamada,
et al., 1993).

Dalam
disertasi doktor saya, jejak evolusi bintang muda yang baru keluar dari awan
antarbintang berhasil digambarkan dalam diagram serupa diagram Herzprung-Russel
bagi bintang tampak, tetapi dengan panjang gelombang inframerah. Karena
penekanannya pada pembaruan diagram H-R 
inframerah yang menggambarkan jejak evolusi bintang muda, dua
publikasinya menggunakan judul yang sama “A Far‑Infrared H‑R Diagram of
Young Stellar Objects
”,  tetapi
dengan pendalaman yang berbeda. Publikasi pertama (Djamaluddin and Saito, 1995)
memberikan pendalaman pada katalog objek-objek sampel di beberapa awan
antarbintang dekat, sedangkan publikasi berikutnya (Djamaluddin and Saito,
1996) memberikan pendalaman proses fisisnya.

Seusai
program doktor, saya kembali ke LAPAN untuk mengintegrasikan pemahaman
astronomi inframerah, debu dan gas di antariksa, serta astronomi berbasis
antariksa dengan program penelitian antariksa di Bidang Matahari dan Lingkungan
Antariksa.
Saya menyadari tidak mungkin penelitian astronomi murni terkait pembentukan
bintang dikembangkan di LAPAN. Tetapi banyak alat bantu fisis-astronomis yang
saya pelajari bisa saya terapkan untuk mendukung penelitian lingkungan
antariksa di LAPAN. Kajian asal-usul bintang bisa diterapkan pada asal-usul
matahari dengan sisa-sisanya berupa komet dan hujan meteor yang menjadi
fenomena penting di lingkungan antariksa yang secara langsung atau tak langsung
berpengaruh pada lingkungan bumi.
Kajian
tersebut dipublikasi dengan judul “
Telaah Orbit Komet dalam Kaitannya dengan Hujan Meteor” (Djamaluddin, 1995) dan “Variation of Meteors as Detected by
Meteor Wind Radar in Indonesia
” (Djamaluddin, 2002).

Fasilitas kerjasama LAPAN – Universitas Kyoto
berupa Meteor Wind Radar (MWR) di Kototabang (sebelumnya di Serpong dengan
kerjasama bersama BPPT) memungkinkan mengkaji aspek astronomis dari data fluks
meteor.
Beberapa makalah dihasilkan
dari penelitian dengan menggunakan data MWR tersebut, yaitu “Analisis
Lingkungan Antariksa Berdasarkan Influks Meteor dari Meteor Wind Radar Serpong
dan Kototabang” (Djamaluddin, 2006), “Pengembangan Model Fluks Mikrometeoroid
dari Data Meteor Wind Radar” (Djamaluddin, 2006), dan “Micrometeoroid
Affected by Solar Activity
” (Djamaluddin, 
2007). Penelitian kaitan pengaruh aktivitas matahari pada fluks meteor
menghasilkan indikasi yang berbeda dengan hasil penelitian beberapa peneliti
sebelumnya. Saya menyimpulkan bahwa pengaruh aktivitas matahari bukan akibat
perubahan kerapatan atmosfer tempat terjadinya fenomena meteor, tetapi
tampaknya karena variasi kerapatan mikrometeoroid di lingkungan antariksa.

Walaupun fokus penelitian tugas akhir
pendidikan  saya adalah pembentukan
bintang dan struktur galaksi serta struktur besar alam semesta, fisika bintang
dan fisika matahari merupakan mata kuliah utama yang juga harus saya pelajari
selama kuliah astronomi. Karenanya, ketika Bidang Matahari dan Lingkungan
Antariksa (yang kemudian berubah menjadi Bidang Matahari dan Antariksa) juga
menuntut saya masuk pada penelitian matahari, saya tinggal mengintegrasikan
ilmu yang saya pelajari dengan kebutuhan lembaga. Beberapa publikasi penelitian
fisika matahari adalah ”Evolution of Solar Activities Periodicity and
Possible Relation to solar Inertial Motion
” (Djamaluddin, 2002),
Prediktibilitas Cuaca Antariksa" (Djamaluddin,
2003),
Solar
Activity Prediction from Reconstruction of Wavelet Analysis
” (Djamaluddin,
2003), ”Prediction of Solar Cycle 24 Based on Wavelet Analysis of Asymmetric
Hemispheric Sunspot Number
” (Djamaluddin, 2005a), dan ”Metode Baru
Prakiraan Siklus Aktivitas Matahari dari Analisis Periodisitas” (Djamaluddin,
2005b).

 

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Desember 10, 2009 inci Sains Antariksa & Astronomi

 

Meteorit Asteroid Jatuh di Bone

LEDAKAN BONE DIDETEKSI SEBAGAI “SUPERBOLIDE”
(BOLA API BESAR)

Ledakan di perairan Bone yang saya duga sebagai
ledakan meteorit besar ternyata benar. Ini catatan saya sebelumnya http://t-djamaluddin.spaces.live.com/blog/cns!D31797DEA6587FD7!608.entry

Ternyata sistem
pemantau internasional untuk larangan percobaan nuklir  dari
11
stasiun melaporkan mendeteksi adanya ledakan besar yang berpusat di sekitar lintang
4,5 LS, 120 BT, sekitar pukul 11.00 WITA pada 8 Oktober 2009, seperti laporan
media massa.
 Analisis
ledakan menunjukkan bahwa kekuatan ledakan sekitar  50 kiloton TNT diduga akibat meteorit yang
berasal dari asteroid berukuran sekitar 10 meter. Ledakan terjadi karena
tekanan atmosfer yang menyebabkan pelepasan 
energi yang cukup besar.
Ledakan tersebut juga sinyalnya mencapai stratosfer
yang tingginya lebih dari 20 km.
Diperkirakan
meteorit dari asteroid itu berukuran 5 – 10 meter dengan kecepatan jatuh
sekitar  20.3 km/detik (73.080 km/jam).
Berdasarkan perkiraan sebaran meteoroid-asteroid di antariksa dekat bumi objek
seperti itu punya kemungkinan jatuh di bumi setiap  2 – 12 tahun.  

Laporan hasil analisis sistem pemantau internasional
itu bisa dibaca di

http://neo.jpl.nasa.gov/news/news165.html

Asteroid
Impactor Reported over Indonesia

Don
Yeomans, Paul Chodas, Steve Chesley
NASA/JPL Near-Earth Object Program Office
October 23, 2009

On October 8, 2009 about 03:00
Greenwich time, an atmospheric fireball blast was observed and recorded over an
island region of Indonesia. The blast is thought to be due to the atmospheric
entry of a small asteroid about 10 meters in diameter that, due to atmospheric
pressure, detonated in the atmosphere with an energy of about 50 kilotons (the
equivalent of 100,000 pounds of TNT explosives).

The blast was recorded visually and
reported upon by local media representatives. See the YouTube video at:

http://www.youtube.com/watch?v=yeQBzTkJNhs&videos=jkRJgbXY-90

A report from Elizabeth Silber and
Peter Brown at the University of Western Ontario indicates that several
international very-long wavelength infrasound detectors recorded the blast and
fixed the position near the coastal city of Bone in South Sulawesi, island of
Sulewesi. They note that the blast was in the 10 to 50 kT range with the higher
end of this range being more likely.

Assuming an estimated size of about
5-10 meters in diameter, we would expect a fireball event of this magnitude
about once every 2 to 12 years on average. As a rule, the most common types of
stony asteroids would not be expected to cause ground damage unless their
diameters were about 25 meters in diameter or larger.

A more extensive report by Elizabeth
Silber and Peter Brown of the University of Western Ontario is here.


Summary of Preliminary Infrasonic Analysis of the Oct 8,
2009 Indonesian Superbolide

Elizabeth
Silber and Peter Brown
Meteor Infrasound group
Dept. of Physics and Astronomy,
Univ. of Western Ontario
London, ON
N6A 3K7
CANADA

Released: October 19, 2009

On Oct 8, 2009, media reports
appeared in the local press in Indonesia concerning a loud air blast occurring
near 11am local time (0300 UT). Subsequent to these first media reports,
additional English language reports appeared suggesting the event was
meteoritic.

http://thejakartaglobe.com/home/mysterious-explosion-panics-locals-in-south-sulawesi-police-still-investigating/334246

http://www.thejakartapost.com/news/2009/10/08/blast-may-be-result-falling-space-waste-or-meteorite-lapan.html

Indonesian language reports more
clearly identify a bright fireball, accompanied by an explosion and lingering
dust cloud as the origin of the air blast. Finally, a YouTube video posted on
the same day appears to show a large dust cloud consistent with a bright,
daylight fireball.

http://www.surya.co.id/2009/10/09/ledakan-misterius-guncang-sulsel.html

http://www.youtube.com/watch?v=yeQBzTkJNhs&videos=jkRJgbXY-90

Based on these initial reports, a
detailed examination was made of all International Monitoring System (IMS)
infrasound stations of the Comprehensive Nuclear-Test-Ban Treaty Organization
(CTBTO). From this initial examination, a total of 11 stations showed probable
signals from a large explosion centered near 4.5S, 120E, with an origin time
near 0300 UT on Oct 8, 2009, consistent with the media reports. This signal was
notable for having been (a) detected at many IMS stations, including five at
ranges over 10,000 km (and one at a nearly 18,000 km range) and (b) being
confined to very low frequencies. Both of these observations suggest the
explosion source was of very high total energy. All signal motions were between
0.27 – 0.32 km/s, consistent with stratospheric signal returns.

We have used the Air Force Technical
Application Centre (AFTAC) period-yield relation as described by ReVelle (1997)
as the most robust basic indicator of source energy. To generate measured
periods, the average periods of all phase-aligned stacked waveforms at each
station were measured, according to the technique described in Edwards et al
(2006). These periods were then averaged to produce a single, global average
period of 13.4 sec and the AFTAC yield relation applied; this produced an
average source yield of 31 kT of TNT. Averaging the individual yields from all
stations produces a mean source energy near 50 kT of TNT while using only the
eight stations having the highest signal-to-noise-ratio (SNR) and using the
local observed periods of the waveform at maximum amplitude produces a yield
estimate of 40 kT of TNT, all of which are basically consistent. It is important
to note, however, that the standard deviation of this measurement is nearly 30
kT. That is, the best source energy estimate would be 40 +/- 30 kT TNT. Note
that much of this variation may be due to the signal emanating from different
portions of the fireball trail as observed at different stations; each period
measurement is a "sample" of the size of the cylindrical blast cavity
at that particular segment of the trail detected by any one station. As such,
the out of atmosphere yield for this event is likely higher than these
measurements suggest – very probably in the ~50 kT range.

The yield estimates based on
infrasonic amplitude are very uncertain in this instance as the propagation
distances are much larger than is typical and outside the range limits where
such relations have been developed (e.g. Edwards et al, 2006) and hence the
period relationship (which was generated using a dataset of nuclear explosions
having yields in this range) is more applicable.

Some examples of the detected and
processed waveforms are shown in the appendix.

Based on these infrasound records,
it appears that a large (40-50 kT TNT) bolide detonation occurred near 0300 UT
on Oct 8, 2009 near the coastal city of Bone in South Sulawesi, Indonesia. The
infrasonic geolocation is not precise enough to determine if the bolide was
over water or land, but it was relatively near the coast.

Follow-on observations from other
instruments or ground recovery efforts would be very valuable in further
refining this unique event.

Using an average impact velocity for
NEAs of 20.3 km/s, the energy limits (10 – 70 kT) suggested by this analysis
correspond to an object 5-10 m in diameter. Based on the flux rate from Brown
et al (2002), such objects are expected to impact the Earth on average every 2
– 12 years

References

Brown P., Spalding R.E., ReVelle
D.O., Tagliaferri E. and Worden S.P. 2002. The flux of small near-Earth objects
colliding with the Earth, Nature, 420, 314-316.

Edwards W.N., Brown P.G., ReVelle
D.O., 2006. Estimates of Meteoroid Kinetic Energies from Observations of
Infrasonic Airwaves, Journal of Atmospheric and Solar-Terrestrial Physics, 68:
1136-1160.

ReVelle D.O. 1997. Historical
Detection of Atmospheric Impacts by Large Bolides using Acoustic-Gravity Waves,
Annals of the New York Academy of Sciences, Near-Earth Objects – The United
Nations International Conference, editor J.L. Remo, New York Academy of
Sciences, 822, 284-302.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Oktober 26, 2009 inci Sains Antariksa & Astronomi

 

Fireball Meteorit Besar Jatuh

Meteorit Menimbulkan Ledakan di Bone

 

Kamis siang, 8 Oktober 2009 saya
mendapat berita adanya ledakan di perairan Bone, Sulawesi Selatan. Informasi
yang saya terima ledakan itu disertai dengan pijaran cahaya dari langit, ada jejak asap,
ada ledakan, ada getaran, dan tidak ada informasi kecelakaan pesawat terbang atau
penerbangan pesawat Sukhoi dengan kecepatan supersonik yang menimbulkan sonic
boom (gelombang kejut akabat objek bergerak melebihi kecepatan suara).

 

Atas dasar itu
saya simpulkan itu benda jatuh antariksa. Mungkin alami (meteorit besar),
mungkin pula buatan (sampah antariksa). Tetapi dari analisis sampah antariksa
tidak ada objek yang berpotensi jatuh yang melintas Sulawesi pada hari itu
sekitar pk 10.00 – 11.30 WITa (rentang waktu laporan warga). Jadi saya simpulkan
dugaan kuat itu adalah meteorit cukup besar. Kalau terjadi pada malam hari
masyarakat akan melihat bola api (fireball) yang sangat terang sejak posisi yang cukup tinggi. Karena kejadiannya siang pijaran api hanya manarik perhatian
menjelang mencapai permukaan bumi.

 

Perkiraan kasar
saya, berdasarkan kejadian sebelumnya di Pontianak (2003, meteorit berukuran
kecil, sekitar 15 cm) dan sampah antriksa di Bengkulu (2003, lempengan roket,
sekitar 60 x 60 cm) yang juga menunjukkan adanya pijaran dan suara ledakan
tidak terlalu kuat,  meteorit itu cukup
besar minimal sekitar 30 – 50 cm. Karena jatuh di laut, tidak mungkin kita
menemukan bendanya.

 

Ada nara sumber
lain di LAPAN yang sempat menyebutkan (menurut berita) tidak mungkin itu
meteorit, karena itu terjadi pada siang hari. Mungkin ada salah persepsi.
Sebenarnya meteorit bisa jatuh setiap saat dari segala penjuru, walau dari segi
kecepatan dan frekuensi kejadian akan lebih banyak terjadi pada sisi bumi yang
mengalami waktu dini hari (sekitar pukul 00 – 06) karena adanya efek gabungan
rotasi bumi dan gerak bumi mengitari matahari. Data dari Radar Meteor di
Stasiun LAPAN Kototabang (Sumatera Utara) menunjukkan meteor jatuh setiap saat
dari segala penjuru. Radar Meteor tersebut teralu jauh untuk mendeteksi meteorit di Bone.

 

Pada 6 Juli
2009 lalu di
Pennsylvania, Amerika Serikat sekitar
pukul 01.00 dini hari juga ada kejadian meteorit besar yang jatuh dan
menimbulkan fenomena bola api (fireball), ledakan, dan getaran.

http://meteoriteblog.com/large-meteor-fireball-over-pa-explosions-sonic-booms-heard/

 

 

Ini kutipan
berita media massa tentang ledakan di Bone:

 

http://www.detiknews.com/read/2009/10/08/145729/1217958/10/lapan-ledakan-di-bone-kemungkinan-meteor-tapi-tak-bahaya

 

Kamis, 08/10/2009 14:57 WIB
Lapan: Ledakan di Bone Kemungkinan Meteor, Tapi Tak Bahaya
Ken Yunita – detikNews

 

Ledakan keras yang terdengar di langit Bone, Sulawesi
Selatan, diduga terjadi akibat gesekan meteorit dengan lapisan atmosfir. Namun
peristiwa itu tidak akan membahayakan Bumi.

"Kan ada ledakan dan cahaya membara, analisis sementara itu meteorit yang
jatuh dan bergesekan dengan lapisan atmosfir," kata peneliti utama
astronomi-astrofisika Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Dr
Thomas Jamaluddin kepada detikcom, Kamis (8/10/2009).

Thomas menduga, benda tersebut boleh jadi juga sampah antariksa seperti pecahan
satelit atau bekas roket peluncur. Namun kemungkinan itu sangat kecil karena
hari ini tidak ada sampah antariksa yang jatuh ke bumi.

"Lagi pula, kecepatan sampah antariksa itu tidak setinggi meteorit jadi
kemungkinan terjadi ledakan sangat kecil," kata Thomas.

Thomas mengatakan, warga tidak perlu khawatir dengan peristiwa tersebut.
Menurutnya, meteorit memang biasa jatuh ke bumi.

Dari data yang dimikili Lapan, 25 ribu ton meteorit jatuh ke Bumi setiap
tahunnya. "Ada yang bentuknya sangat halus seperti debu sampai kita tidak
tahu kalau kita kejatuhan meteorit," kata Thomas.

Apakah ada meteorit yang mengancam bumi? "Sejauh ini belum ada. Beberapa
negara kan telah melakukan patroli antariksa dan hingga kini tidak ada laporan
meteorit yang membahayakan Bumi," ujar Thomas. (ken/nrl)

 

Ini video berita Metro TV

http://metrotvnews.com/index.php/metromain/newsvideo/2009/10/08/91790/LAPAN-Duga-Kuat-Ledakan-Bone-adalah-Meteor

 

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Oktober 14, 2009 inci Sains Antariksa & Astronomi

 

Teleskop Antariksa Pencari Planet Luar Tatasurya

DIMANA
POSISI TELESKOP KEPLER?

 

(Pada edisi perdana majalah Post Media – Edisi 01/Thn I/Mei 2009 – disajikan berita iptek "Meneropong Kehidupan di Dunia Lain" yang membahas rencana NASA meluncurkan teleskop antariksa Kepler. Teleskop antariksa ini unik, berbeda dengan teleskop antariksa sebelumnya. Post Media mewawancarai saya untuk menjelaskan rencana keberadaan teleskop antariksa Kepler).


Untuk
memastikan kebaradaan teleskop ini, Post Media melakukan wawancara dengan
Thomas Djamaluddin, ahli astrotromi LAPAN Bandung, berikut hasil wawancaranya.

 

Post
Media:
Saat selesai diluncurkan, dimana posisi persis teleskop Kepler dalam
menjalankan tugasnya?

 

Thomas: Teleskop Kepler ditempatkan pada orbit mengikuti
bumi mengitari matahari. Periode orbitrya (372,5 hari) lebih panjang daripada
periode orbit bumi (365,2422 hari). 
Jadi, semakin lama semakin menjauh dari bumi, tetapi tetap mengorbit
pada jarak 150 juta km dari matahari. Setiap tahunnya teleskop Kepler akan
tertinggal jauh sekitar 18,5 juta km. Jadi dalam misi 3,5 tahun, kira-kira
teleskop Kepler berjarak 60 juta km dari bumi. Orbitnya sengaja dibuat menjauh
dari bumi untuk menjamin kestabilan sistem karena tidak akan terganggu
gravitasi bumi. Arahnya pun ditujukan ke rasi Lyra dan Cygnus yang tidak
terganggu sinar matahari dan objek tatasurya lainnya, sehingga terfokus pada
pencarian sistem planet du luar tata surya.

 

Post
Media:
Berapa kapasitas Teleskop Kepler?

Thomas:
Massa teleskop sekitar 1 ton, diameter bukaan teleskop 95 cm, dan diameter
cermin 140 cm 9terbesar di antara teleskop antariksa yang ada). Medan pandangya
105 derajat persegi (kira-kira seluas kepalan tangan kalau diarahkan ke
langit). Kamera terdiri dari 42 keping CCD 1024 x 2200, juga merupakan kamera
teleskop antariksa terbesar. Karena redupnya objek yang direkam, pencitraan
perlu waktu sekitar 6 jam atau lebih. Perintah kendali disampaikan NASA dengan
gelombang radio (X band) sepekan dua kali. Sedangkan data ilmiah ditransfer
dengan gelombang radio Ka band sekali sebulan dengan kecepatan maksimum 4,33
Mb/s. Untuk menghemat bandwidth data sudah diproses di Kepler, sehingga yang
dikirim hanya data yang penting untuk dianalisis. Biaya misi ini diperkirakan
US$600 juta (sekitar tujuh trilyun rupiah).

 

Post
Media:
Berapa lifetime Teleskop Kepler:

Thomas:
Lifetime opersional teleskop diperkirakan 3,5 tahun. Ini adalah kala hidup
optimal, biasanya masih bisa diperpanjang bila fungsi instrumen dan anggaran
memungkinkan.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Mei 27, 2009 inci Sains Antariksa & Astronomi

 

Bumi akan Menjadi Seperti Venus?

Pelajaran bagi Bumi: 

Pemacuan
Efek Rumah Kaca di Venus

(Dimuat di PR 3 Mei 1996, direvisi sesuai kondisi 2009)


T. Djamaluddin

Peneliti  Matahari dan Antariksa, LAPAN Bandung

 

            Pada senja hari kita sering melihat
sebuah "bintang" terang di langit Barat. Orang menyebutnya itu
Bintang Kejora. Bila muncul di timur pada dini hari orang menyebutnya Bintang
Timur. Sebenarnya itu bukan bintang, tetapi sebuah planet. Karena sangat terangnya, planet ini
sangat mudah dikenali. Sesaat setelah Matahari terbenam, sebelum
bintang-bintang lain terlihat, planet itu tampak terang. Semakin malam semakin
cemerlang. Bila dilihat dengan teleskop, yang tampak adalah benda terang
berbentuk sabit, seperti bulan sabit. Sama seperti bulan sabit, cahaya Venus
sabit pun berasal dari cahaya Matahari.

            Karena ukuran dan sifatnya yang
hampir sama dengan Bumi, planet ini sering disebut saudara kembar Bumi. Namun,
saudara Bumi ini jauh lebih panas daripada Bumi. Bukan hanya karena jaraknya ke
Matahari lebih dekat daripada Bumi, tetapi juga karena efek rumah kaca (green
house effect
). Bumi bisa belajar banyak tentang akibat efek rumah kaca pada
saudara kembarnya, Venus.

 

Efek Rumah Kaca

            Global warming (pemanasan global)
belakangan ini menjadi topik pembicaraan hangat. Dunia makin menghangat
suhunya. Penyebabnya adalah efek rumah kaca. Namun banyak yang salah
menafsirkanya. Seolah-olah efek rumah kaca adalah efek pemanasan akibat
banyaknya gedung-gedung berkaca di kota-kota besar yang memantulkan cahaya
Matahari ke lingkungan sekitarnya. Tetapi pengertian sebenarnya bukan itu,
walaupun tampaknya secara logika efek pemanasan terjadi juga pada lingkungan
terbatas di sekitarnya. Efek rumah kaca bersifat global, seluruh tempat di
permukaan bumi merasakannya.

            Efek rumah kaca adalah efek
pemanasan akibat terperangkapnya panas yang tidak dapat dilepaskan ke luar
angkasa. Penamaan itu untuk memberikan gambaran prosesnya seperti yang terjadi
pada rumah kaca yang biasa digunakan untuk melindungi tanaman (bunga-bungaan
atau sayur-sayuran) di daerah pegunungan atau negara bermusim dingin agar tetap
hangat. Cahaya Matahari masuk menembus kaca dan menghangatkan tanah dan udara
di dalamnya. Namun panas itu tidak bisa ke luar karena terperangkap oleh kaca
itu. Makin lama suhu di dalam rumah kaca itu akan makin panas.

            Venus kini mengalami efek seperti
itu. Bumi juga merasakannya. Bukan kaca yang menyebabkan panas di Venus atau di
Bumi itu terperangkap tetapi awan, uap air, dan gas-gas penyerap panas yang
disebut "gas rumah kaca" (GRK) seperti CO2 (karbon dioksida), CH4
(metan), CFC (klorofluorkarbon), dan NOx (oksida Nitrogen).

 

 

Planet terpanas

            Venus letaknya lebih dekat ke
Matahari daripada Bumi. Jaraknya ke Matahari sekitar 105 juta km. Sedangkan
jarak Bumi dari Matahari sekitar 150 juta km. Karena itu Venus lebih panas
daripada Bumi. Tetapi yang menjadikan Venus sangat panas bukan karena jaraknya
relatif dekat dengan Matahari. Planet Merkurius yang paling dekat dengan
Matahari panasnya hanya sekitar 430 derajat C. Sedangkan Venus panasnya
mencapai 460 derajat C.

            Carl Sagan dalam desertasi doktornya
tahun 1960-an menjelaskan bahwa ada proses efek rumah kaca yang sangat hebat di
Venus yang menyebabkan planet ini makin lama makin panas. Hasil pengamatan
pesawat antariksa yang dikirim meneliti Venus, Venera dan Pioneer, menunjukkan
bahwa atmosfer Venus hampir seluruhnya terdiri dari CO2 (96,5 %). Bandingkan
dengan CO2 di atmosfer Bumi yang hanya sekitar 0,05 %. Awan tebal yang selalu
menyelimuti Venus berada pada ketinggian 30-60 km dan terdiri dari awan asam
sulfat (H2SO4, sejenis dengan air keras pada aki).

            Kandungan CO2 yang sangat tinggi
menyebabkan hebatnya efek rumah kaca. Cahaya Matahari yang menerobos sela-sela
awan tebal kemudian memanaskan permukaan Venus. Panasnya yang dipantulkan lagi
tidak bisa ke luar ke angkasa tetapi segera diserap oleh CO2 yang menyebabkan
suhu atmosfernya makin panas.

            Dari berbagai penelitian disimpulkan
bahwa Venus pada awalnya mungkin mempunyai air seperti halnya bumi. Efek rumah
kaca akibat kandungan uap air dan CO2 menyebabkan suhu atmosfer Venus makin
panas. Akibatnya, uap air makin banyak di udara. Tambahan uap air menyebabkan
penyerapan panas lebih banyak lagi sehingga suhunya atmosfer makin panas.
Karena pemanasan yang makin hebat batuan kapur (CaCO3) pun mengalami perubahan
menjadi CaO dan melepaskan CO2. Semakin banyak CO2 dan uap air di udara
pemanasan oleh efek rumah kaca semakin hebat. Dan seterusnya pemanasan
menyebabkan semakin banyak uap air dan CO2. Terjadilah pemacuan efek rumah kaca
(runaway greenhouse effect) yang menyebabkan pemanasan makin cepat.

            Uap air bereaksi dengan gas SO2 yang
mungkin dilepaskan oleh gunung berapi di Venus. Akibatnya terjadilah awan asam
sulfat. Sementara itu uap air (H2O) dengan pengaruh sinar ultra violet Matahari
akan pecah menjadi atom Hidrogen (H) dan Oksigen (O). Atom Hidrogen akan lepas
ke luar angkasa, kecuali yang bermassa besar yang disebut Deutorium. Sedangkan
oksigen bereaksi dengan batuan di permukaan Venus. Karena uap air tidak
berproses lagi menjadi awan dan hujan, air di Venus makin hilang.

 

Pelajaran bagi Bumi

            Bumi menerima panas dari Matahari.
Tetapi hanya sekitar 45 % yang mencapai permukaan Bumi. Sebanyak 40 %
dipantulkan lagi ke angkasa luar oleh awan dan debu-debu di atmosfer atas,
terutama debu-debu dari letusan gunung berapi. Dan 15 % lainnya diserap oleh
atmosfer. Sinar ultra violet diserap oleh lapisan ozon. Sinar infra merah
terutama diserap oleh uap air dan CO2.

            Bumi yang terpanasi kemudian akan
memancarkan lagi panas (dalam bentuk sinar infra merah) ke atas. Panas itu
sebagian diserap oleh uap air, gas-gas GRK (terutama CO2), dan awan. Sebagian
sisanya dilepaskan ke luar angkasa. Awan yang menghangat juga kemudian akan
memancarkan lagi panasnya ke bawah. Inilah proses efek rumah kaca yang
menyebabkan pada malam hari pun atmosfer Bumi terasa masih cukup hangat. Tanpa
efek rumah kaca, panas Matahari tidak tersimpan yang bisa mengakibatkan perubahan
suhu yang drastis antara siang dan malam.

            Masalahnya bila efek rumah kaca
terjadi peningkatan. Bila panas yang diserap oleh uap air dan GRK meningkat,
suhu atmosfer akan meningkat. Ini akan mengakibatkan melelehnya gunung es di
kutub yang akan menaikkan ketinggian air laut. Kalau itu terjadi, banyak pulau
dan daerah pantai yang tenggelam.

            Di samping itu, peningkatan efek
rumah kaca bisa mengubah iklim secara global. Bukan hanya suhu atmosfer yang
meningkat, pola curah hujan pun akan berubah. Karena itu pemantauan dan
penelitian tentang efek rumah kaca serta dampaknya pada perubahan iklim kini
makin digiatkan. Di Indonesia, LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa
Nasional) Bandung sangat peduli dengan penelitian GRK dan pengaruhnya pada
perubahan iklim. Pemantauan GRK dan penelitian model iklim yang dipengaruhinya,
khususnya di Indonesia, merupakan salah satu bagian penelitiannya.

            Berbagai hasil penelitian
menunjukkan bahwa perubahan suhu di permukaan Bumi selama ribuan tahun sangat
dipengaruhi oleh konsentrasi CO2 dan metan dalam kurun waktu itu. Sementara itu
penelitian lain menunjukkan bahwa peningkatan 15% CO2 selama seabad ini telah
meningkatkan suhu rata-rata atmosfer di permukaan Bumi sekitar 0,25 – 0,50
derajat C.

            Perkembangan industri dan pemakaian
kendaraan bermotor memacu peningkatan jumlah CO2 di atmosfer. Penelitian di
Mauna Loa, Hawaii, dalam waktu lebih dari 30 tahun menunjukkan bahwa
konsentrasi CO2 terus mengingkat dengan laju peningkatan 0,4 persen per tahun.
Jika keadaan ini terus berlangsung, pada awal abad 21 mendatang konsentrasi CO2
di atmosfer akan menjadi dua kali lipat dari konsentrasinya sebelum zaman
industri.

            Di Indonesia peningkatan GRK juga
terjadi sebagai hasil dampak perkembangan indistri dan pemakaian kendaraan bermotor.
Salah satu hasil pemantauan yang dilakukan LAPAN Bandung sejak 1989 menunjukkan
kecenderungan peningkatan konsentrasi CO2 di kota Bandung. baik pada musim
kemarau (Juni) maupun musim hujan (Desember). Walaupun pengaruhnya pada
peningkatan suhu kota Bandung belum terlihat untuk jangka pendek ini, namun
dalam jangka panjang perubahan suhu itu akan terasa. Bandung yang terkenal
sejuk, makin lama akan makin panas bila efek rumah kaca terus meningkat (Catatan: tulisan ini dibuat 1996, saat ini data satelit yang dianalisis peneliti LAPAN menunjukkan ada efek "urban heat island", yaitu efek pemanasan kota di Bandung).

            Dari berbagai skenario perubahan
iklim yang mungkin terjadi akibat pelepasan GRK oleh aktivitas manusia,
disimpulkan bahwa suhu global pada abad mendatang akan naik sekitar 0,1 – 0,3
derajat per dekade. Suhu di negara-negara industri di Eropa dan Amerika Utara
mungkin akan meningkat lebih tinggi dari rata-rata itu yang diikuti dengan
penurunan curah hujan dan tanah relatif lebih kering.

            Untuk Indonesia, termasuk juga
daerah tropik dan negara-negara di belahan Bumi selatan, belum banyak diketahui
skenario perubahannya. Peneliti-peneliti di LAPAN Bandung, dengan menggunakan
model iklim yang ada dan yang akan dikembangkan, berusaha mengetahui skenario
perubahan iklim di Indonesia akibat peningkatan efek rumah kaca dan
faktor-faktor lainnya. Pengaruh variabilitas Matahari pada perubahan iklim
merupakan faktor lain yang turut diperhitungkan.

            Peningkatan suhu global pada abad 21
mendatang, diperkirakan akan meningkatkan tinggi pemukaan air laut sekitar 6 cm
per dekade, terutama akibat pengembangan air laut dan pencairan lapisan es di
kutub. Menjelang tahun 2030 tinggi air laut rata-rata dunia meningkat sekitar
20 cm dibandingkan saat ini. Di beberapa wilayah mungkin lebih dari itu dan di
wilayah lain mungkin kurang dari itu. Namun itu cukup mengkhawatirkan. Dalam
jangka panjang beberapa pulau akan hilang dan laut menggenangi daerah pinggiran
pantai.

            Hal yang dikhawatirkan adalah
terjadinya pemacuan efek rumah kaca di Bumi. Kenaikan suhu atmosfer bukan hanya
menaikkan ketinggian air laut, tetapi juga menyebabkan makin cepatnya penguapan
dan kekeringan. Uap air di atmosfer merupakan penyerap panas yang baik seperti
GRK lainnya. Bila itu ditambah dengan pelepasan CO2 yang tak terkendali dari
kendaraan bermotor, industri, dan kebakaran hutan, efek rumah kaca akan dipacu
makin cepat. Akibatnya, suhu akan makin cepat meningkat.

            Belajar pada Venus, saudara kembar Bumi, pemacuan efek
rumah kaca berdampak sangat hebat. Dengan pemacuan efek rumah kaca, bukan tidak
mungkin Bumi kita bisa menjadi seperti Venus.

 
1 Komentar

Ditulis oleh pada Mei 25, 2009 inci Sains Antariksa & Astronomi

 

Gempa-Tsunami 22 Juli 2009?

HOAX: Prediksi Gempa dan Tsunami di Asia Timur

 

T. Djamaluddin
Peneliti Utama Astronomi-Astrofisika LAPAN

 

Beberapa waktu lalu beredar informasi di milis tentang
prakiraan gempa dan tsunami 22 Juli 2009 disertai gambar jalur gerhana matahari
total. Isinya antara lain:

I don’t know how true this is, but better be
informed…….. Hello there. I just wanted 2 let you know that please stay
away from the beaches all around in the month of July. There is a prediction
that there will be another tsunami or earthquake hitting on July 22nd. It is
also when there will be sun eclipse. Predicted that it is going 2 be really bad
and countries like Malaysia (Sabah & Sarawak), Singapore, Maldives,
Australia, Mauritius, Si Lanka, India, Indonesia , Philippines are going 2 be
badly hit. Please try and stay away from the beaches in July. Better 2 be safe
than sorry. Please pass the word around. Please also pray for all beings.

Berita itu jelas hoax alias bohong. Benar pada 22 Juli 2009
akan terjadi gerhana matahari total yang melintasi Asia Timur dan puncak
gerhana terjadi di Samudra Pasifik antara Jepang dan Filipina, tetapi tidak ada
dasar untuk prakiraan gempa dan tsunami. Memang ada dugaan kuat efek pasang
surut gabungan bulan dan matahari pada saat bulan baru (termasuk saat gerhana
matahari) dan saat bulan purnama (termasuk gerhana bulan) dapat memicu
terjadinya gempa. Tetapi, belum ada teori dan metode sains yang dapat
memprakirakan secara meyakinkan tempat dan waktu terjadinya gempa dan tsunami.
Kalau benar di wilayah itu tertumpuk energi yang belum dilepaskan pada
gempa-gempa sebelumnya, potensi gempa yang dipicu oleh pasang surut maksimum
bulan-matahari tidak perlu menunggu 22 Jul 2009. Setiap bulan baru dan bulan
purnama punya potensi untuk memicu pelepasan energi berupa gempa.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada April 27, 2009 inci Sains Antariksa & Astronomi

 

Matahari mendekat?

TIDAK BENAR APRIL MATAHARI SEMAKIN MENDEKAT

Ada dua teman mengkonfirmasi hal yang sama. Seseorang menyebarkan SMS yang tidak jelas sumbernya. Isinya kira-kira, "Dikabarkan besok terjadi kondisi di mana jarak matahari-bumi semakin dekat. Kemungkinan besar radiasinya dapat merusak kulit, terjadi antara jam 8 – 16. Jangan pakai pakaian hitam, sebab penyerapan energi matahari dapat merusak kulit hanya dalam 5 menit."

Informasi tersebut jelas menyesatkan. Orbit bumi mengitari matahari yang sedikit lonjong menyebabkan bumi mendekat dan menjauh dari matahari secara teratur. Jarak terdekat bumi – matahari (147 juta km) terjadi setiap awal Januari. Dan jarak terjauhnya (152 juta km) terjadi setiap awal Juli. Jadi, bulan April tidak ada fenomena jarak bumi-matahari makin dekat. Dengan demikian informasi lainnya juga tidak benar. Kalau pun bumi berada pada jarak terdekat dengan matahari, radiasinya tidak signifikan variasinya. Jadi tidak ada dampak apa pun.

Mungkin ada yang mengaitkan dengan perasaan lebih panas sekitar Maret-April. Fenomena lebih panasnya suhu udara di sebagian besar kota di Indonesia pada Maret-April, tidak terkait dengan jarak bumi – matahari. Data suhu rata-rata di beberapa kota memang menunjukkan dua puncak sekitar Maret-April dan juga September-Oktober. Hal itu terjadi karena faktor  peralihan angin pada musim pancaroba. Di Indonesia angin Monsun Australia (Juni-Juli-Agustus) yang kering membawa udara dingin dari arah Selatan yang sedang musim dingin, sehingga cenderung saat kemarau relatif lebih sejuk. Demikian juga saat angin Monsun Asia (Desember-Januari-Februari) yang basah membawa udara dingin dari arah Utara yang sedang musim dingin, sehingga musim hujan juga relatif dingin. Saat musim peralihan (Maret-April-Mei dan September-Oktober-November) angin cenderung lemah (kecuali angin lokal saat terjadi puting beliung) dan bersifat lokal, sehingga tidak ada efek pendinginan. Radiasi panas (inframerah) dari permukaan yang terpanasi relatif tidak tersebar. Efek pulau panas perkotaan makin terasa pada musim peralihan ini.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada April 2, 2009 inci Sains Antariksa & Astronomi