MEMBUMIKAN ASTRONOMI UNTUK MEMBERI SOLUSI (2/2)
T. Djamaluddin
Pengantar: Alhamdulillah, saya dikukuhkan sebagai Profesor Riset ke -287 nasional (dari 7.816
peneliti secara nasional) dan ke-11 LAPAN (dari 272 peneliti LAPAN)
pada 9 Desember 2009 dengan orasi "Membumikan Astronomi untuk Memberi
Solusi". Ini bagian kedua (terakhir) orasi saya.
III. MEMBUMIKAN ASTRONOMI
Majelis
dan hadirin yang saya hormati,
Sejak awal masuk sebagai peneliti LAPAN,
kesadaran bahwa astronomi sebagai ilmu murni tidak mungkin dikembangkan di
LAPAN seperti halnya di ITB dengan fasilitas Observatorium Bosscha, sudah
mengarahkan orientasi penelitian saya untuk membumikan astronomi, dalama makna mencari pemanfaatan astronomi bagi
kehidupan di bumi. Oleh karenanya sejak awal saya telah berupaya untuk
membumikan astronomi dengan mencari aplikasi fenomena astronomis yang secara
langsung memberi manfaat untuk pemahaman tentang ruang kehidupan di bumi. Salah
satunya adalah pemahaman karakteristik gerhana bulan yang dapat menggambarkan
kondisi lingkungan atmosfer bumi. Hasil kajian itu saya tuliskan dalam dua
makalah ”Analisis
Bayangan Gerhana Bulan Untuk Menafsirkan Karakteristik Atmosfer Atas”
(Djamaluddin, 1987b), dan “Interpretasi Penyebaran Debu Letusan Gunung Api dari
Bayangan Gerhana Bulan” (Djamaluddin, 1987c).
Seusai menyelesaikan
pendidikan di Jepang dengan fokus penelitian tentang materi antarbintang dan
pembentukan bintang, hal-hal yang saya upayakan untuk membumi adalah pemahaman
baru tentang pembentukan tata surya, sisa-sisanya berupa debu antarplanet,
komet, dan meteoroid, serta dampaknya pada bumi. Makalah pertama yang saya
tulis pada awal saya kembali aktif sebagai peneliti LAPAN adalah ulasan tentang
“Evolusi
Planet Bumi dan Pengaruh Lingkungan Tata Surya” (Djamaluddin, 1994).
Kemudian mengarahkan program penelitian terkait dengan pengaruh kosmogenik
(berasal dari lingkungan antariksa) pada lingkungan bumi.
Penelitian dalam program penelitian tahunan 1995 bertema “Pengaruh
Mikrometeoroid dari Komet pada Pembentukan Awan dan Curah Hujan”
hasilnya dipublikasi di Majalah LAPAN (Djamaluddin, Suryantoro, dan
Suaydhi, 1996). Walau pun belum menemukan bukti yang kuat tetapi diperoleh
adanya indikasi debu-debu mikrometeoroid dari komet berpengaruh pada
peningkatan curah hujan. Interpretasi yang saya bahas dalam makalah tersebut
adalah kemungkinan mekanismenya terkait dengan peran mikrometeoroid sebagai
inti kondensasi awan tinggi (cirrus) yang kemudian butiran es itu menjadi inti
kondensasi bagi awan rendah. Interpretasi tersebut sebenarnya memerlukan
penelitian lanjutan karena selama ini awan cirrus selalu dianggap terbentuk
dari mekanisme pembentukan awan konvektif cumulonimbus yang menjulang sampai
troposfer atas. Sayangnya ketiadaan data pendukung untuk analisis partikel pada
air hujan menyebabkan penelitian lanjutan belum dapat saya lakukan. Kajian
lanjutan baru sampai pada ulasan “Keterkaitan antara Komet dan Hujan Meteor”
(Djamaludin, 1998) yang membahas lebih rinci tentang hujan meteor yang
dikaitkan dengan orbit komet-komet untuk mengidentifikasi kemungkinan pengaruhnya
di Indonesia.
Penelitian pengaruh lingkungan antariksa kemudian mengarah pada pengaruh
aktivitas matahari dan pasang-surut bulan-matahari pada bumi. Hasil penelitian
itu dipublikasi dengan judul “Pengaruh Aktivitas Matahari dan Faktor lainnya pada Suhu Atmosfer
Permukaan di Indonesia” (Djamaluddin, Admiranto, dan Sinambela, 1997) dan
” Efek
Pasang Surut Bulan dan Aktivitas Matahari terhadap Curah Hujan di
Indonesia” (Djamaluddin, 1997). Walau ada indikasi pengaruh aktivitas matahari,
tetapi pengaruh pada suhu di Indonesia sebenarnya kurang tampak, karena
variasinya memang tidak terlalu besar. Pengaruh aktivitas matahari dan
pasang-surut bulan-matahari baru tampak pada curah hujan, khususnya untuk curah
hujan di Jakarta (sebagai sampel dengan data yang cukup panjang) yang cenderung
meningkat saat aktivitas matahari meningkat. Demikian juga periodisitas
pasang-surut bulan-matahari (luni-solar) juga mengindikasikan adanya pengaruh
pada curah hujan di Indonesia.
Pengetahuan baru tentang analisis wavelet yang saya peroleh saat workshop
di Brazil segera saya sebarkan kepada para peneliti LAPAN di Bandung dan segera
saya aplikasikan untuk mengkaji pengaruh aktivitas matahari pada liputan awan
di Indonesia. Hal menarik, penelitian "Efek Pasang Surut Bulan dan Aktivitas Matahari pada Penyebaran Awan
di Indonesia" (Djamaluddin, 1998) mengungkapkan secara meyakinkan berdasarkan analisis spektral wavelet bahwa
liputan awan di Indonesia terpengaruh oleh aktivitas matahari (terutama pada
musim kering) dan pasang-surut bulan-matahari. Memang analisis spektral lazim
digunakan untuk mengkaji pengaruh suatu fenomena terhadap fenomena lainnya
dengan menganalisis spektral periodisitasnya, dalam kondisi banyak faktor yang
dapat mempengaruhinya.
Penelitian lanjutan dengan menambahkan parameter lainnya (SOI
– southern oscillation index – sebagai indikasi ENSO dan indeks liputan
debu letusan gunung) dipublikasi pada beberapa makalah: “Influence of
Solar Activities, ENSO, and Stratospheric Aerosols on Cloud Amounts Over
Western Indonesia” (Djamaluddin, 2002), "Solar Activity Influence
on Climate in Indonesia" (Djamaludin, 2003), dan “Solar Activity Effects on Cloud Cover Over
Indonesia” (Nugroho, and Djamaluddin, 2005). Penelitian lanjutan itu
menunjukkan bahwa liputan awan di atas Indonesia sangat kuat dipengaruhi oleh
liputan debu letusan gunung dan ENSO (El Nino Southern Oscillation). Analisis kemudian mengarahkan pada
indikasi bahwa mekanisme pengaruh aktivitas matahari pada liputan awan di
Indonesia tampaknya melalui mekanisme ENSO. Artinya, pengaruh aktivitas
matahari yang mengubah periodisitas ENSO yang kemudian mempengaruhi
periodisitas liputan awan di Indonesia. Indikasi itu berbeda dengan pemahaman
sampai saat itu seperti dirangkum dalam ulasan "Bukti-bukti Empirik Pengaruh Aktivitas
Matahari pada Iklim" (Djamaluddin, 2001). Justru indikasi seperti itu
mulai dikaji oleh para peneliti secara lebih mendalam dalam beberapa tahun
belakangan terkait dengan peranan laut dalam hubungan matahari-bumi.
Upaya saya
membumikan astronomi dengan mengembangkan penelitian dampak antariksa pada bumi
dipublikasi dalam makalah ”Mencari Aplikasi Astronomi: Faktor Kosmogenik pada
Iklim" (Djamaluddin, 2001) dan "Space Based Data: Between Pure
Science and Down-to-Earth Application in Indonesia" (Djamaluddin, 2004).
Bukan mengada-ada, tetapi itu merupakan upaya agar pemahaman astronomi yang
mencakup fenomena alam yang luas dapat dimanfaatkan bukan sekadar untuk
pengembangan sains.
Kajian tentang
dampak lingkungan antariksa pada bumi difokuskan pada masalah sampah antariksa.
Ini adalah awal penelitian tentang sampah antariksa yang menjadikan LAPAN
sebagai satu-satunya pusat informasi di Indonesia tentang sampah
antariksa. Lingkungan antariksa yang mengandung ancaman tumbukan antara
satelit dengan benda antariksa alami (meteoroid) dan sampah antariksa diulas
dalam makalah "Masalah
Meteoroid dan Sampah Antariksa pada Satelit Geostasioner" (Djamaluddin,
2002) dan "Risiko Benda Jatuh Antariksa" (Djamaluddin, 2003).
Penelitian komprehensif tentang sampah antariksa yang dipengaruhi aktivitas
matahari dipublikasikan dalam makalah "Pengaruh Aktivitas Matahari
Pada Kalahidup Satelit " (Djamaluddin, 2005). Penelitian tersebut
menunjukkan secara lebih jelas bahwa pada masa matahari aktif, potensi sampah
antariksa jatuh ke bumi lebih banyak terjadi, artinya potensi bencana benda
jatuh antariksa di wilayah Indonesia yang merupakan daerah ekuator yang cukup
panjang relatif meningkat. Hal
ini harus menjadi perhatian bagi LAPAN dalam memberikan layanan informasi
potensi bahaya benda jatuh antariksa. Terkait dengan kondisi fisik lingkungan
antariksa di wilayah orbit satelit, ulasannya dituliskan dalam makalah “Kondisi
Lingkungan Antariksa di Wilayah Orbit Satelit” (Djamaluddin, 2006).
IV. ASTRONOMI
MEMBERIKAN SOLUSI
Majelis
dan hadirin yang saya hormati,
Membumikan astronomi tentu berorientasi pada upaya mencari
aplikasinya yang memberi manfaat bagi masyarakat dan memberikan solusi bagi
permasalahan yang terjadi di masyarakat. Dua hal utama yang saya awali adalah
kajian benda jatuh antariksa di wilayah Indonesia dan tawaran solusi penyatuan
hari raya umat Islam dengan penyatuan kriteria astronomis tanpa
mempermasalahkan perbedaan metode hisab dan rukyat, namun tetap merujuk pada
dalil-dalil syar’i (hukum-hukum agama) yang disepakati bersama.
Pemahaman
astronomi orbit saya manfaatkan untuk mengkaji dan mengevaluasi benda jatuh
antariksa di Gorontalo (1981) dan Lampung (1988) yang lama tersimpan di
Kedeputian Teknologi Dirgantara LAPAN dan data waktu jatuhnya terdokumentasi
oleh Pusat Informasi dan Kedirgantaraan LAPAN. Saya berhasil
mengidentifikasikan kedua benda jatuh itu sebagai bagian dari motor roket SL-8
dan SL-4 milik Rusia, sedangkan lempengan yang jatuh di Bengkulu (2003)
berhasil saya identifikasi sebagai pecahan roket CZ-3 milik RRC. Saat stasiun
antariksa Mir jatuh terkendali pada 2001 dan satelit Bepposax jatuh tak
terkendali pada 2002, kajian orbitnya dimanfaatkan untuk memberikan layanan
informasi intensif kepada pemerintah dan masyarakat melalui situs web LAPAN dan
jalur komunikasi lainnya terkait potensi bencana benda jatuh antariksa,
berkoordinasi dengan Badan Nasional Pengendalian Bencana (BNPB). Terkait dengan
mitigasi bencana benda jatuh antariksa tersebut telah dipublikasikan makalah
"Analisis Orbit dan Identifikasi Benda Jatuh Antariksa di Indonesia"
(Djamaluddin, 2004).
Pada sisi lain astronomi telah memberikan perangkat penting bagi kehidupan
manusia dalam hal penentuan waktu dan arah. Oleh karenanya untuk membumikan
astronomi dan mempopularisasikannya, saya telah menuliskan makalah teknis
ilmiah astronomi dan artikel ilmiah populer tentang penentuan waktu dan arah,
khususnya terkait dengan penentuan waktu ibadah dan penentuan arah kiblat bagi
umat Islam sebagai penduduk mayoritas Indonesia.
Beberapa makalah ilmiah dalam kaitan dengan pemanfaatan astronomi untuk
aplikasi di masyarakat telah saya publikasikan: “Peran Penting Almanak
Astronomi di Masyarakat” (Djamaluddin, 1995), "Visibilitas Hilal di Indonesia"
(Djamaluddin, 2000), "Re-evaluation of Hilaal Visibility in Indonesia",
(Djamaluddin, 2001), "Calendar Conversion Program Used to Analyze Early
History of Islam" (Djamaluddin, 2001), dan "Prospek Astronomis
pada Penyatuan Kalender Islam di Indonesia” (Djamaluddin, 2003).
Melalui berbagai tulisan di media massa, seminar, ceramah, dan pelatihan, saya
mengupayakan titik temu antarormas Islam dalam penentuan awal Ramadhan, Idul
Fitri, dan Idul Adha dengan pendekatan astronomis yang dilandasi dalil-dalil
syar’i (hukum-hukum agama). Pada dasarnya perbedaan hari raya bukan disebabkan
oleh perbedaan metode hisab (perhitungan) dan rukyat (pengamatan), tetapi
karena perbedaan kriteria awal bulan. Selama ini ada dua kriteria dasar yang
sering menyebabkan perbedaan ketika tinggi bulan di antara kedua kriteria itu.
Kriteria wujudul hilal (bulan sabit sudah berada di atas ufuk) dengan tinggi
bulan sekitar 0 derajat yang digunakan Muhammadiyah dan kriteria imkan rukyat
(kemungkinan rukyat/teramati) dengan ketinggian bulan sekitar 2 derajat yang
digunakan Nahdlatul Ulama (NU). Jadi ketika tinggi bulan sekitar 0 – 2 derajat
dapat dipastikan akan terjadi perbedaan hari raya, seperti tahun 2006 dan 2007
lalu.
Berdasarkan kajian data rukyat di Indonesia dan analisis astronomis
(Djamaluddin, 2000), saya mengusulkan penyempurnaan dengan kriteria baru yang
saya sebut kriteria LAPAN. Dengan mengupayakan kriteria baru yang disepakati
(apakah kriteria LAPAN atau kriteria lain) insya-allah perbedaan penentuan hari
raya dapat dikurangi. Tinggal masalah pada beberapa kelompok kecil yang masih
menggunakan cara non-astronomis, seperti rukyat global, penentuan dengan hisab
urfi (perhitungan konstan), atau dengan penentuan pasang air laut. Untuk
masalah terakhir ini, pendekatannya bukan lagi secara astronomis, tetapi harus
dengan pendekatan lain.
Contoh nyata penyatuan umat lewat kesepakatan kriteria adalah dalam penentuan
jadwal shalat. Walau sebenarnya ada beberapa kriteria tinggi matahari untuk
jadwal shalat, ternyata semua ormas Islam dapat sepakat dengan kriteria yang
saat ini digunakan Departemen Agama RI. Hal serupa juga dapat terwujud kalau
semua ormas Islam dapat menyepakati satu kriteria awal bulan. Saat ini
upaya-upaya sosialisasi dan pendekatan masih terus dilakukan dan ada
tanda-tanda positif menuju titik temu. Semoga dalam waktu tidak terlalu lama
lagi dapat dicapai satu kesepakatan. Kalau belum tercapai, tahun 2010 – 2014
kita akan menghadapi lagi perbedaan awal Ramadhan dan hari raya, setelah dua
tahun (2008 – 2009) posisi bulan-matahari memungkinkan kita untuk bersatu walau
dengan kriteria berbeda.
V. PENUTUP
Majelis
dan hadirin yang saya hormati,
Perjalanan karir fungsional saya konsisten mengembangkan astronomi sebagai
sains dan membumikan astronomi untuk memberi solusi bagi masyarakat. Sebagai
tanggung jawab ilmiah dan sosial sebagai seorang peneliti, saya telah berupaya
agar astronomi dapat berkontribusi dalam memajukan masyarakat melalui upaya
para penelitinya dengan pubikasi ilmiah yang berkualitas serta layanan informasi
yang mencerdaskan, menjelaskan, dan mengingatkan masyarakat. Secara langsung
atau tak langsung, astronomi, sebagai kompetensi individual saya serta
tugas dan fungsi institusional di Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa
LAPAN, telah turut berkontribusi dalam menjelasksan fenomena astronomis yang
menjadi perhatian masyarakat (seperti badai matahari, gerhana, oposisi Mars,
komet, dan meteor), dalam mengupayakan mitigasi benda jatuh antariksa, dan
dalam memberikan solusi penyatuan hari raya yang berdampak sosial.
Ucapan Terima Kasih
Majelis dan hadirin yang saya
hormati,
Aspek
humanistik perjalanan karir peneliti saya, telah saya tuliskan dalam artikel ”Astronomi Jalan Hidup” di blog
saya http:\\t-djamaluddin.spaces.live.com, termasuk tekad saya untuk mencapai Profesor Riset pada 2009 ini.
Walaupun karir fungsional lebih banyak ditentukan oleh diri sendiri (berbeda
dengan karir struktural), harus saya ungkapkan bahwa banyak orang telah
berperan membantu saya. Pada akhir orasi ini, izinkan saya untuk menyampaikan
ucapan terima kasih kepada banyak pihak yang telah mengantarkan saya pada
jabatan Peneliti Utama IVe dan Profesor Riset bidang astronomi-astrofisika,
tanpa menyebutkan satu per satu karena demikian banyaknya.
Ucapan terima
kasih yang pertama tentu saya sampaikan kepada kedua orang tua saya yang telah
menanamkan kegigihan dan kejujuran yang menjadi bekal dalam segala langkah perjalanan
saya. Demikian juga kepada para guru dan pembimbing saya yang telah memberi
bekal ilmu dan semangat ilmiah. Kepada para pimpinan, Tim Penilai Peneliti
Instansi (TP2I) dan Tim Penilai Peneliti Pusat (TP3) beserta staf
sekretariatnya, kolega peneliti, staf teknisi, dan staf administrasi LAPAN yang
telah membantu melancarkan karir fungsional saya. Kepada Kepala LIPI selaku
Ketua Majelis Pengukuhan Profesor Riset beserta anggota Majelis maupun Tim
Penilai Naskah Orasi kami ucapkan terima kasih atas kepercayaan mengukuhkan
saya sebagai profesor riset. Juga kepada keluarga saya, istri dan anak-anak,
yang telah menjadi pendorong semangat dalam perjalanan karir saya.
Namun, dari sekian banyak orang yang berjasa, saya
harus menyebut satu nama yang paling banyak memberi warna semangat astronomis
dalam hidup saya, Prof. Dr. Bambang Hidayat. Pak Bambang adalah pembimbing
semasa mahasiswa di ITB, atasan di LAPAN saat saya menyelesaikan pendidikan di
Jepang, dan pendorong semangat ketika saya meniti karir peneliti astronomi.
Wassalamu’alaikum wr. wb.